Puisi untuk ayah.

 Pagi terganti petang, aku masih sibuk menjajahkan koran, ku sisir kota ku sendiri dari tanah lapang sampai pusat kota, aku lupa akan arti sekolah dan ilmu demi menutupi ekonomi keluarga yang buruk, tanah dan aspal adalah teman yang setia untuk kedua kaki ku ini yang tanpa alas, ibu sedang sakit keras dan ayah sedang bekerja menghitung hasil loakan hari ini, waktu kini tak mengenal ku yang kusam dan bau asap kendaraan, tak ada buku yang ku beli, hasil jualan ku tabung agar ibu bisa sembuh, dipersimpangan jalan aku melihat keluarga cemara yang sedang asik bercanda di dalam mobil, dengan penuh suka cita dan canda tawa, malam sudah larut sisa empat koran yang ku jual, dan kini aku beranjak pulang, aku yang terlalu muda untuk berjualan dan membantu per-ekonomian keluarga, aku senang karena aku pulang membawa uang yang lumayan banyak untuk ku tabung, aku kegirangan dan senyum senyum sendiri melihat jerih payah-ku hari ini, sampai hujan turun dan aku harus berteduh di halte bus, aku lelah sampai ketiduran, ku genggam erat uang dan memikirkan ibu, sampai ketika salah satu tetangga-ku datang dan mengabarkan bahwa ibu sudah tiada dikarenakan penyakit yang parah, aku menangis sambil berlari menemui ibu, rasanya hasil jerih payah-ku hari ini adalah tangisan yang berharga, menangisi kepergian sosok ibu yang ku pikirkan tersenyum kini hanys terbaring kaku, aku menangis histeris sampai ketiduran, selesai pemakaman ibu ku tabung uang yang ku genggam dari kemarin di celangan bambu-ku agar tidak hilang, keesokan harinya pemerintah mengatakan tempat ini akan digusur untuk dijadikan tempat usaha, aku, ayah dan adik ku hanya bisa terdiam dan menahan tagis, rasanya seperti jatuh dan terkena tangga, hari itu aku tidak berjualan koran, aku membuka celengan bambu-ku dan tugas-ku kali ini menyekolahkan adik kecil-ku, alhamdulillah uang ku cukup untuk menyekolahkan adik-ku supaya dia tidak bernasib sama seperti aku dan bapak ku, kami sekarang tinggal di depan ruko beralas kardus dan gerobak yang dibawa bapak setiap kali kerja, diusir adalah makanan kami sehari hari, aku menyalurkanya dari tulisan atau puisi yang ku buat yang judulnya "tas ayah-ku adalah gerobak"

"Ayah, kita tidak bisa menyalahkan nasib atau tuhan.

Urat dan keringat yang keluar untuk makan dan membelikan adik susu.

Ayah, mungkin dunia berkata tidak akan tentang kita.

Namun kita bisa merubah kenyataan, dan merubah keadaan.

Mungkin ibu sudah tiada namun kasih sayangnya masih kini ku rasa.

Oh ayah."

Sampai akhirnya ada salah satu pengusaha yang menghampiri dan membaca puisi ku, di detik itu kehidupan kami berputar seratus sembilan puluh derajat, kami bisa tersenyum dan bapak itu bilang bahwa kami ingin dibangunkan usaha dan aku dan adik ku akan disekolahkan di tempat yang layak, kami bersujud syukur dan berterima kasih kepada Tuhan dan bapak itu, akhirnya aku bisa memakan bangku sekolah dan adik ku bisa tertawa bahagia, aku juga yakin ibu disana sangat senang melihat kami sudah berubah, ini adalah suratan takdir dari yang di atas, dan sekarang aku sudah berumur 17 tahun, aku menjadi penulis puisi dan aku tidak akan melupakan kisah ku yang dulu.


Komentar

Postingan Populer