Keracunan

 Berawal dari lagu yang provokatif berjudul "Mereka yang Berdasi" menjadi titik kejenuhan saya melihat anjing-anjing lapar di selasar ibu kota atau rumah-rumah tetangga. Puisi tak mampu membeli beras, syair tak mampu beli intisari atau hanya sekadar bekonang asli Kulonprogo. Kita semua merindukan kasih sayang, keadilan dilecehkan bak ada pemerkosaan, itu kata kawan saya si hitam yang tak punya pekerjaan. Saya rasa Indonesia terlalu indah untuk ditinggalkan oleh pembodohan. Pemberontakan dianggap tidak berkelas karena dia sibuk membaca buku tentang cara topi menjadi helm, dan bagaimana keadilan diwujudkan seperti dalam film. Dan saya jawab, ini semua hanya perkara orang dalam.

Bapaknya mantan militer dan menghadapi musuh, ia berkata bahwa gampang tinggal telepon papah dan selesai semua perkara. Tak semudah mulutmu yang berbau tinja itu kau bicara. Kau punya tenaga dan kuasa, lalu apa bedanya Tuhan dan kau, jika kau sama?

Berlaga demokrasi, mengerti sana sini, berkedok paling suci, seperti FP! Indahnya masa-masa pacaran, saya harap tidak ada yang mengganggu suatu kemesraan yang sekarang saya rasakan. Hei... aku ini makhluk fana, aku mengerti bagaimana cinta bekerja. Dia tidak akan menghampiri orang tulus karena ketulusan dapat disandingkan dengan emas dan barang-barang yang wah... tenang, saya pikir semua sudah selesai. Saya harap habis ini kau masuk partai, kosakatamu terlalu bagus, penjelasanmu terlalu indah hingga saya yang cacat sangat benci dengan bualan yang terus kau ciptakan. "Tuhan, mengapa kebenaran selalu diartikan dengan penderitaan?" tanyaku pada sebotol teh Sosro yang ku beli setelah adzan maghrib berkumandang.

Komentar

Postingan Populer