Cangkir kopi eksistensi


Patah hati adalah kopi yang tak pernah panas, disajikan oleh tangan yang tak pernah ada. Di satu sudut, waktu berhenti, bukan karena jam rusak, tetapi karena jam itu sadar: mengapa harus berdetik? Bukankah setiap detik hanyalah pengingat bahwa dia tak lagi di sini? Sartre akan setuju. Di dalam absurditas ini, kita berhadapan dengan ketiadaan yang teramat nyata, tetapi absurd juga. Dia pernah ada, tapi sekarang dia seperti bayangan yang tertawa pada sinar mentari.

   Aku menatap ke luar jendela, dan di sana, dunia tampak bergerak. Orang-orang tertawa, mobil melaju, tetapi semua itu palsu. Mereka mungkin mengira mereka memiliki tujuan, tapi Sartre sudah memberitahuku: keberadaan kita tidak lebih dari sebuah kecelakaan. Aku tidak pernah memintanya masuk ke dalam hidupku, sama seperti aku tidak pernah memilih kopi dingin ini. Kita dilemparkan ke dalam keberadaan, kata Sartre, dan sekarang aku dilemparkan ke dalam patah hati.

   Pikirkanlah dan patah hati bukanlah apa-apa, kecuali apa yang aku buat darinya. Dia pergi, tapi apa artinya itu? Artinya hanya satu hal: aku sekarang ada tanpa dia, dan dalam ketidakadanyaannya, aku harus terus ada. Tapi untuk apa? Sartre akan bilang, “Tak ada gunanya.” Kita semua dibiarkan untuk menciptakan makna kita sendiri. Tetapi bagaimana jika aku tidak ingin membuat makna? Bagaimana jika aku hanya ingin tenggelam dalam absurditas dari semuanya? Sartre akan mengangguk, sambil menyandarkan diri di dinding eksistensi yang tak terhingga, “Itu juga pilihanmu."

   Kenyataan bahwa dia pernah di sini dan sekarang tidak ada hanyalah lelucon kejam dari alam semesta yang diam-diam tertawa pada ketidakberdayaanku. Tapi itulah kebebasan, kan? Kita bebas untuk menjadi, bebas untuk mencintai, dan bebas untuk patah hati. Namun kebebasan itu bukan hadiah, melainkan beban. Beban untuk terus bernafas, meskipun udara itu terasa kosong tanpanya. Beban untuk menyeduh kopi lagi, meskipun rasanya tak akan pernah sama.

   Aku ada, tanpa alasan. Dan kini, patah hati ini adalah absurditas yang harus aku pikul, meski aku tahu tak ada gunanya menyangga apa pun yang akhirnya runtuh pada dirinya sendiri. Sartre benar: eksistensi mendahului esensi, dan di tengah-tengah rasa sakit ini, aku menemukan diriku sendiri, terjebak dalam kehampaan yang tidak terhindarkan.

   Mungkin, akhirnya, patah hati ini hanya lelucon kosmik. Tapi lelucon ini adalah milikku, absurditas ini adalah kenyataanku, dan di sinilah aku, tetap ada.



Komentar

  1. tentang masa lalu ni bang?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tentang siapa saja yang menemani malam ku tadi di tugu

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer