Cinta dalam Bentuk Abstrak: Menghadapi Realitas yang Menindas

 
(gambar dr google)

Banksy tidak akan menyelesaikan karyanya di siang hari, sebab malam lah yang menjadi matahari untuk segala coretan yang dia buat. Sebab, apa guna menyelesaikan sesuatu dalam terang, jika malam menawarkan misteri yang lebih akrab bagi seniman yang hidup dari ketidakpastian? Di bawah bayangan bulan yang tidak sempurna, ia menemukan cahaya dalam kegelapan, sebuah paradoks di mana coretan di tembok berbicara lebih banyak daripada ribuan percakapan manusia yang berisik di siang hari.
   Basquiat tidak akan melukis jika tidak ada chaos di zamannya, karena bagaimana mungkin ia dapat melahirkan bentuk dari kehampaan yang hening? Chaos adalah katalis, menghidupkan warna-warna yang meledak dari kanvas seperti gema dari sebuah jeritan yang tidak pernah terdengar. Karya-karyanya tidak mencari ketertiban, melainkan merangkul kekacauan sebagai sesuatu yang mendefinisikan keberadaan. Dalam warna dan garis yang tumpang tindih, dia menangkap absurditas hidup, di mana makna dan kehampaan saling bertarung dalam sebuah kanvas.

   Semua itu terangkum indah oleh kata cinta dan keresahan, dua konsep yang tampaknya berlawanan tetapi selalu berjalan berdampingan. Cinta adalah sumber segala kekacauan, namun juga satu-satunya yang bisa memberi makna pada kekosongan yang ditinggalkan keresahan. Derrida akan mengatakan bahwa cinta, seperti bahasa, selalu terurai; tak pernah bisa dipahami sepenuhnya. Setiap pencinta adalah seniman, tetapi lebih sering mereka melukis ketidakpastian daripada kejelasan. Mereka ingin melukiskan keindahan dari mulanya kanvas kosong nan putih, menjadi banyak coretan ekspresi atau kelembutan setiap lekuk garis yang dibuat. Namun, apakah keindahan benar-benar tercipta, atau hanyalah ilusi yang kita bangun dari dekonstruksi makna?

   Banyak instrumen-instrumen cinta yang mengagung-agungkan cinta, seperti sebuah simfoni yang terus-menerus membunyikan notasi yang sama, berharap agar harmoni itu tidak pudar. Seperti bunga mawar yang baru mekar setelah tiga dekade lamanya, cinta membutuhkan waktu untuk berkembang, namun seringkali layu bahkan sebelum sempat dipetik. Derrida akan menantang gagasan tentang keutuhan ini. Apa yang disebut cinta mungkin hanyalah efek dari keterpisahan, sebuah dekonstruksi dari kebutuhan manusia untuk mengisi kekosongan eksistensial.

   Ungkapan cinta itu adalah bentuk satir yang indah, di mana pengungkap memberikan harapan agar sang pendengar membuahkan harapan. Tetapi apakah harapan itu sendiri benar-benar ada, ataukah itu hanyalah tanda yang terus merujuk pada tanda lain, tanpa pernah mencapai maknanya yang final? Derrida akan mengatakan bahwa cinta, seperti segala sesuatu dalam bahasa, selalu tertunda, selalu "tertangguhkan" (diffĂ©rance), selalu berada di antara harapan dan pemenuhan yang tak pernah sampai. Kita mencintai, bukan karena kita memahami cinta, tetapi karena kita tidak mampu memahami ketidakpastian yang ia bawa. Cinta adalah sebuah proses dekonstruksi, di mana setiap lapisan harapan dan kekecewaan saling tumpang tindih, membentuk sesuatu yang lebih menyerupai sebuah permainan tanda-tanda daripada sebuah realitas yang bisa dipegang. 

   Pada akhirnya, cinta adalah absurditas yang kita pilih untuk percayai, sebuah karya seni yang tak pernah selesai. Sama seperti Banksy yang lebih suka meninggalkan karyanya di malam hari, di saat dunia tertidur, kita juga memilih untuk mencintai di dalam ketidaktahuan, di antara bayang-bayang ketidakpastian. Karya itu mungkin tidak akan pernah selesai, tetapi justru di sanalah seni cinta berada di dalam proses, di dalam ketidakmungkinan untuk pernah benar-benar memahami atau menyelesaikannya.






Komentar

Postingan Populer