Cinta vs Revolusi: Gibran dan Marx di Meja yang Sama
Kita memang sama-sama suka membaca, tapi lihatlah betapa berbeda selera kita. Kamu dengan Khalil Gibran-mu yang memuja cinta, seakan-akan cinta adalah jawaban dari semua masalah hidup. Oh, betapa indahnya dunia kalau kita bisa menyelesaikan semua masalah hanya dengan cinta! Tidak perlu revolusi, tidak perlu memikirkan ketimpangan ekonomi atau sosial—cukup cinta. Gibran dengan puisi-puisinya yang seakan menganggap kita hidup di dunia khayalan, di mana semua orang bersatu padu, dan dunia damai hanya dengan kekuatan cinta.
Sementara aku di sini, tenggelam dalam buku Karl Marx yang sedikit lebih realistis, menuntut kita bangun dari mimpi manis itu. Marx, tentu saja, tidak punya waktu untuk berbicara tentang cinta yang melenakan. Dia lebih sibuk menyingkap bagaimana kapitalisme menghancurkan kehidupan, memeras manusia hingga menjadi alat produksi tanpa jiwa. Ah, bayangkan kalau Marx mencoba menulis tentang cinta—cinta yang harus dikalkulasi berdasarkan nilai tukar dan tenaga kerja yang diperas dari proletariat. Dalam dunia Marx, cinta mungkin hanya menjadi bagian kecil dari "superstruktur" yang diciptakan oleh kelas penguasa untuk membuat kita lupa akan penindasan yang sebenarnya terjadi.
Kamu, dengan Gibran-mu, mungkin akan mengatakan bahwa cinta adalah satu-satunya jalan menuju kebebasan. Semua bisa diselesaikan kalau kita mencintai satu sama lain. Tapi sayangnya, dunia tidak semanis metafora Gibran yang dipenuhi bunga-bunga dan langit cerah. Marx akan tertawa mendengar itu. Bagi Marx, cinta tidak lebih dari produk ideologis yang dimanipulasi oleh kapitalisme untuk membuat kita lupa bahwa ada ketidakadilan di setiap sudut masyarakat. Kamu bisa saja mengatakan cinta menyembuhkan segalanya, tapi coba beritahu itu kepada orang-orang yang tidak bisa makan karena sistem ekonomi yang eksploitatif. Mungkin mereka akan lebih memilih roti daripada puisi tentang cinta.
Cinta, menurut Gibran, adalah sesuatu yang "mengangkat kita lebih tinggi". Oh, tentu, sangat inspiratif! Tapi apakah cinta bisa membayar sewa rumah? Apakah cinta bisa menghentikan eksploitasi tenaga kerja? Marx akan menjawab dengan nada sinis, "Tidak, kawan. Cinta tidak akan mengubah apa pun selama alat-alat produksi masih berada di tangan kelas borjuis." Sementara kamu asyik tenggelam dalam narasi cinta dan spiritualitas, di sini, dunia nyata sedang terbakar oleh ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi yang semakin melebar.
Ah, bayangkan saja, jika semua revolusi sosial dan politik bisa diselesaikan dengan sedikit cinta. Mungkin kita tidak akan membutuhkan serikat buruh, tidak perlu membicarakan upah layak, tidak perlu memprotes ketidakadilan struktural. Kita cukup duduk bersama, minum teh, dan membicarakan cinta universal. Betapa mudahnya hidup kalau begitu! Marx, tentu saja, akan sangat tersinggung oleh gagasan ini. Bagi Marx, cinta tanpa keadilan sosial tidak lebih dari candu, sama seperti agama yang dia kritik dengan tajam. Cinta menjadi alat yang meninabobokan kita, membuat kita berpikir bahwa semuanya baik-baik saja, padahal sebenarnya kita sedang diperas habis-habisan oleh sistem kapitalis.
Tapi jangan salah paham, aku tidak menolak cinta. Aku hanya berpikir bahwa cinta yang tidak dilandasi keadilan adalah cinta yang buta. Mungkin Gibran akan bicara tentang cinta yang membebaskan, tetapi Marx akan mengingatkan kita bahwa tidak ada kebebasan sejati tanpa perlawanan terhadap ketidakadilan. Jadi, ya, cintailah sesama manusia, tapi jangan lupa bahwa cinta saja tidak cukup untuk mengubah dunia yang tidak adil ini.
Jadi mari kita berbagi cerita. Kamu bisa terus memuja cinta yang katanya bisa menyelesaikan semua masalah, sementara aku akan tetap di sini, berpihak pada revolusi dan perubahan sosial. Mungkin suatu hari nanti, kita bisa menemukan jalan tengah. Siapa tahu, mungkin revolusi sosial yang diiringi oleh cinta ala Gibran justru bisa menjadi kombinasi yang sempurna—meskipun, jujur saja, aku masih ragu cinta bisa membuat kapitalis melepaskan alat produksi mereka.
Komentar
Posting Komentar