Habis Gelap Terbitlah Sengketa

Hidup ini kadang terasa seperti perjalanan tanpa peta yang jelas. Kita hanya bergerak, melangkah tanpa tahu pasti apakah jalan yang kita pilih akan membawa kita ke tujuan atau justru semakin jauh dari harapan. Kebimbangan adalah teman sejati dalam perjalanan ini, selalu hadir setiap kali kita mulai merasa yakin, seolah ingin mengatakan: "Benarkah kamu sudah memilih dengan tepat?" Dan di sinilah letak paradoks kehidupan: semakin kita mencari kepastian, semakin banyak sengketa yang muncul, baik itu dengan orang lain maupun dengan diri kita sendiri.

 Tidak jarang, kita merasa seperti sedang berada di sebuah ruangan gelap, penuh ketidakpastian. Gelap yang tak pernah kita pilih, namun tak bisa kita hindari. Kita bertanya-tanya, "Apa yang harus saya lakukan? Ke mana harus melangkah?" Namun, jawaban-jawaban itu seakan menghindar, seperti bayangan yang hilang begitu kita coba tangkap. Terkadang, kita merasa sudah hampir menemui cahaya, namun saat itu tiba, ia justru membawa kita ke lebih banyak pertanyaan dan keraguan. Seperti pepatah lama yang mengatakan, "Habis gelap terbitlah terang," kita sering kali terjebak dalam kenyataan bahwa setelah gelap, yang terbit bukanlah ketenangan, melainkan lebih banyak sengketa, baik dengan dunia luar maupun dengan diri sendiri.

 Manusia, dalam kebimbangannya, sering kali mencari alasan untuk meyakinkan dirinya bahwa segala yang ia lakukan adalah pilihan yang tepat. Namun, kenyataannya tak sesederhana itu. Setiap pilihan membuka pintu-pintu baru, dan masing-masing pintu itu mengundang pertanyaan baru. Bukankah itu aneh? Setiap kali kita merasa telah menemukan jawaban, muncul lagi pertanyaan yang lebih mendalam. "Jika itu benar, kenapa ini terjadi?" atau "Jika itu salah, lalu apa yang benar?" Keinginan kita untuk menemukan kebenaran sering kali berakhir dengan semakin besarnya ketidakpastian.

 Sengketa bukan hanya terjadi di luar sana, di dunia yang penuh dengan konflik dan perselisihan, tetapi juga terjadi di dalam diri kita sendiri. Kadang-kadang kita merasa bingung dengan pilihan-pilihan yang ada. Apakah kita harus mengikuti kata hati, ataukah akal sehat yang lebih rasional? Kedua suara itu sering kali bertentangan, dan kita pun terjebak dalam kebingungan yang tiada habisnya. Suara hati berbicara tentang impian, tentang kebahagiaan yang tak terhingga, sementara akal sehat berbicara tentang kenyataan, tentang apa yang bisa dicapai dan apa yang tidak mungkin tercapai. Pada akhirnya, keduanya berperang di dalam diri kita, menciptakan sengketa batin yang tak terlihat, namun sangat nyata.

 Pernahkah Anda merasa, dalam gelapnya kebimbangan itu, ada sedikit kelegaan dalam ketidakpastian? Seperti berada di tengah badai yang tak terhindarkan, kita mulai menerima bahwa kita mungkin tidak akan pernah tahu segalanya. Kita hanya bisa terus berjalan, meski setiap langkah terasa ragu. Setiap pilihan yang kita buat mungkin tidak akan pernah sempurna. Namun, bukankah itu yang menjadikan hidup ini menarik? Bukan kejelasan atau kepastian, melainkan ketidakpastian itu sendiri yang memberikan warna pada hidup kita.

 Lalu, kita sampai pada titik di mana kita mulai bertanya: apakah ada gunanya berusaha begitu keras untuk menghindari kebimbangan dan ketidakpastian? Di dunia yang terus berkembang dengan segala kompleksitasnya, mungkin kebimbangan adalah hal yang tak bisa kita hindari. Ia adalah bagian dari proses berpikir, bagian dari bagaimana kita membuat keputusan dan menjalani hidup. Menganggap kebimbangan sebagai musuh yang harus dihindari justru membuat kita terjebak dalam usaha yang sia-sia. Habis gelap terbitlah terang? Mungkin, bukan terang yang kita cari, melainkan kenyataan bahwa setelah gelap, akan ada lebih banyak pertanyaan yang perlu kita jawab. Dan itulah hidup, bukan?

 Di dunia yang penuh dengan pilihan dan informasi, kita sering kali merasa terjebak dalam "terang" yang seharusnya membawa pencerahan. Namun, terang itu justru menambah kebingungan, karena semakin banyak informasi yang kita peroleh, semakin banyak pula sudut pandang yang kita pertimbangkan. Sengketa tidak hanya hadir di dalam dunia luar, tetapi juga dalam pikiran kita, di setiap keputusan yang kita buat. Apa yang kita anggap benar hari ini, mungkin akan berubah besok. Dan dalam ketidakpastian itulah kita sering kali berjuang, mencari makna, mencari jawaban.

 Pemikiran filsuf eksistensialis, Jean-Paul Sartre, sangat relevan dengan pandangan ini. Sartre mengemukakan bahwa "eksistensi mendahului esensi," yang berarti bahwa manusia tidak lahir dengan tujuan atau makna yang sudah ditentukan. Kita justru menciptakan makna itu melalui pilihan-pilihan yang kita buat dalam hidup. Manusia, menurut Sartre, berada dalam kebebasan total, tetapi kebebasan itu justru membebani kita dengan tanggung jawab yang tak terhindarkan. Setiap keputusan yang kita buat, dalam kebebasan itu, selalu disertai dengan kebimbangan dan keraguan. Tidak ada peta yang bisa menunjukkan jalan yang pasti, dan setiap langkah yang kita ambil adalah pencarian makna yang terus berubah-ubah.

 Pada akhirnya, hidup ini adalah perjalanan yang penuh dengan kebimbangan. Dan setelah gelap, tidak selalu terbit terang yang memberi jawaban. Terkadang, yang terbit adalah lebih banyak sengketa, lebih banyak pertanyaan. Namun, dalam sengketa itulah kita menemukan kebenaran yang tidak sempurna, tetapi cukup untuk membawa kita melangkah lebih jauh lagi. Begitulah hidup, menurut Sartre: penuh kebebasan, penuh ketidakpastian, dan penuh dengan keputusan yang akan kita buat, meskipun kita tidak pernah bisa sepenuhnya yakin apakah itu pilihan yang benar. Namun, kita tetap melangkah, karena eksistensi kita, sebagaimana dikatakan Sartre, adalah hasil dari bagaimana kita menghadapi kebebasan dan kebimbangan itu sendiri.

Komentar

Postingan Populer