Tampak Namun Tak Bisa Disatukan
Ada cinta yang terlihat begitu dekat, begitu nyata, namun tetap tak bisa diraih. Ia hadir seperti garis kabur di cakrawala—menggoda, memikat, tapi selalu menjauh setiap kali kita melangkah mendekat. Cinta semacam ini bukan sekadar perasaan, melainkan sebuah paradoks, konflik abadi antara hasrat untuk memiliki dan kenyataan bahwa beberapa hal tak pernah ditakdirkan untuk disatukan.
Dalam cinta yang tak bisa diraih, absurditas mencapai puncaknya. Kita melihat orang itu, mendengar suaranya, merasakan kehadirannya, tapi tidak pernah benar-benar memilikinya. Simone de Beauvoir pernah menulis bahwa cinta sejati adalah pengakuan atas kebebasan orang lain. Namun, dalam cinta yang tidak bisa diraih, kebebasan itu terasa seperti tembok yang tidak dapat ditembus. Kita ingin masuk, ingin menjadi bagian dari dunia mereka, tetapi hanya menjadi penonton dari jauh.
Satirnya, cinta semacam ini sering terasa lebih nyata daripada cinta yang kita miliki. Bukankah kita lebih sering terobsesi pada yang tak bisa kita miliki? Nietzsche, dengan gaya sinisnya, mungkin akan berkata bahwa cinta yang tak tercapai adalah kehendak untuk berkuasa dalam bentuknya yang paling murni. Kita tidak mencintai orang itu sepenuhnya; kita mencintai gagasan bahwa suatu hari mereka akan menjadi milik kita, bahwa jurang yang memisahkan kita akan hilang.
Namun, kenyataan berbicara lain. Mereka tetap jauh, terpisah oleh waktu, keadaan, atau bahkan oleh keputusan mereka sendiri. Kita berharap, bermimpi, membayangkan skenario di mana semuanya berjalan sesuai keinginan kita, tetapi seperti batu Sisyphus, cinta itu selalu tergelincir dari genggaman kita.
Dalam cinta yang tidak bisa diraih, ada ironi yang kejam. Kita tahu bahwa hubungan itu mungkin tak pernah terjadi, tetapi tetap saja, kita terus berharap. Albert Camus menyebut absurditas semacam ini sebagai inti dari keberadaan manusia. Kita tahu bahwa hidup tidak memiliki makna inheren, tetapi kita tetap menciptakan makna. Demikian pula, dalam cinta yang tak bisa diraih, kita tahu bahwa harapan itu mungkin sia-sia, tetapi kita tetap mencintai.
Namun, mari kita akui bahwa cinta yang tak tercapai sering kali lebih indah daripada cinta yang dimiliki. Di sanalah, cinta menemukan bentuknya yang paling murni: tanpa syarat, tanpa keinginan untuk mengubah atau memiliki, hanya sebuah penghargaan tulus terhadap keberadaan orang itu. Schopenhauer, filsuf yang dikenal pesimistik, pernah mengatakan bahwa cinta adalah ilusi yang diciptakan oleh kehendak alam untuk melanggengkan spesies. Tetapi cinta yang tidak bisa diraih membuktikan sebaliknya: ia tidak memiliki tujuan, tidak memiliki akhir, hanya ada sebagai perasaan yang murni.
Namun, ada filsuf lain yang menawarkan wawasan yang relevan di sini, yaitu Emmanuel Levinas. Dalam pemikirannya, Levinas menggambarkan cinta sebagai hubungan dengan "yang lain" (the Other). Ia menegaskan bahwa "yang lain" tidak pernah bisa sepenuhnya dimiliki atau dipahami. Dalam cinta, pasangan kita adalah l'autre—kehadiran yang misterius dan tak dapat direduksi menjadi milik atau bagian dari diri kita. Menurut Levinas, esensi dari cinta adalah menerima kehadiran "yang lain" dalam kebebasannya, bahkan jika itu berarti menerima jarak yang tidak bisa dijembatani.
Pikiran Levinas ini memberi kita perspektif baru tentang cinta yang tidak bisa diraih. Barangkali, cinta semacam ini justru menegaskan bahwa pasangan kita adalah individu yang sepenuhnya bebas, bukan objek yang bisa kita kontrol. Dalam konteks ini, cinta yang tak tercapai bukanlah kegagalan, melainkan pengalaman paling murni dari relasi manusia: pengakuan terhadap "yang lain" sebagai sesuatu yang tak terjangkau, namun tetap dihormati dan dicintai.
Namun, di balik keindahan itu, ada rasa sakit yang tak terelakkan. Kita dibiarkan bertanya-tanya: mengapa? Mengapa mereka tidak bisa bersama kita? Apakah kita tidak cukup? Apakah ada sesuatu yang salah? Freud mungkin akan mengatakan bahwa rasa sakit ini berasal dari konflik antara keinginan bawah sadar kita dan kenyataan eksternal yang tidak bisa kita kendalikan. Kita ingin menyatukan diri kita dengan mereka, tetapi kenyataan terus-menerus menolak keinginan itu.
Dan di sinilah absurditas cinta tak tercapai benar-benar memuncak. Kita tidak bisa memilikinya, tetapi kita juga tidak bisa benar-benar melepaskannya. Cinta itu tetap ada, seperti bayangan yang mengikuti kita, mengingatkan kita akan apa yang hilang. Kita mungkin mencoba melarikan diri, mencoba melupakan, tetapi cinta itu tetap ada, tersembunyi di sudut-sudut hati kita yang paling dalam.
Apakah ini berarti kita harus menyerah? Tidak juga. Mungkin, seperti yang disarankan oleh Camus, kita hanya perlu menerima absurditas ini. Kita tidak perlu melawan atau mencoba menyelesaikannya. Kita hanya perlu mengakui bahwa cinta yang tak bisa diraih adalah bagian dari kehidupan, sebuah pengingat bahwa tidak semua hal bisa dimiliki, dan tidak semua hal harus disatukan.
Dalam cinta yang tak tercapai, kita menemukan pelajaran paling mendalam tentang manusia dan kehidupan. Kita belajar bahwa keindahan sering kali terletak pada jarak, bahwa beberapa hal lebih berharga karena mereka tidak pernah menjadi milik kita. Dan barangkali, di situlah letak kekuatan cinta yang sebenarnya: bukan dalam kepemilikan, tetapi dalam keberanian untuk mencintai meskipun tahu bahwa cinta itu tak akan pernah disatukan.
Cinta yang tidak bisa diraih, pada akhirnya, adalah refleksi dari kehidupan itu sendiri—indah karena ketidaksempurnaannya, bermakna justru karena ketidakmungkinannya. Kita mungkin tidak pernah menyatukannya, tetapi kita bisa merayakan keberadaannya, menghormati ruang antara kita dan orang itu, dan menemukan kedamaian dalam menerima bahwa beberapa hal, meskipun tampak begitu dekat, tidak pernah ditakdirkan untuk disatukan.
Komentar
Posting Komentar