Adikku dan pacarnya


Selain aku punya hp baru (setidaknya itu yang aku punya sekarang), aku juga mempunyai alasan lain untuk aku ceritakan. Hp-ku tidak terlalu bagus, setidaknya ia hidup dan bukan seperti hp-ku yang lama. Hp ini pemberian dari kedua insan yang selalu ku repotkan sedari aku masih janin, bahkan ketika aku ingin dibentuk pun aku sudah merepotkan ayah dan bunda yang harus bergerak kesana-kesini agar terciptanya aku.

Oh, ya, aku ingin cerita di Natal ini. Adik bungsuku sudah mempunyai kekasih, kekasih yang sepertinya adikku pun suka dengan dia. Aku tidak bisa sebut namanya karena menurutku tak usah. Sudah dari lama aku ingin bertemu dengan kekasihnya, berbincang, dan mencoba untuk mengenal. Akhirnya, Natal ini mempertemukan kita untuk saling mengenal dan bertukar informasi seputar cinta. Kekasih adikku masih muda, bahkan lebih muda dari sebuah kelapa muda.

Pertemuan Singkat yang Aneh

Pertemuan itu berawal dari kami sekeluarga memutuskan untuk ngopi dan makan siang bersama di salah satu tempat kopi favorit kami. Kami memesan minuman dan makanan yang agak berlebih, ya, untuk mengenyangkan perut masing-masing. Aku tidak sadar awalnya ada pria muda di sekitar ku, dia yang diam di pojokan layaknya cicak yang sedang menunggu nyamuk hinggap.

Adikku memberi tahu ku bahwa kekasihnya datang, padahal entah siapa yang mengundang dirinya untuk datang. Mungkin inisiatif atau terlalu sayang, namun biarlah. Sontak, aku memanggil dia (kekasih adikku) untuk datang menghadap diriku yang belum mandi namun cukup membawa sedikit uang. "Sini, mendekat, saya ingin ngobrol," ujarku ke kekasih adikku.

Ia mendekat dan mulai berdiri di hadapanku, padahal ada kursi kosong yang sengaja ku siapkan untuk kami berbincang. Keluargaku hening sejenak dan mulai meninggalkan tempatnya. Mereka berpindah tempat tanpa alasan yang jelas. Padahal maksudku, aku ingin mengenali kekasih adikku kepada mereka yang mungkin belum mengenal.

Percakapan yang Menggelikan

Kami berdua, dengan ditemani adikku, mulai berbincang. Perkataanku sedikit mengintimidasi, namun tak apa. Itu adalah gayaku, karena aku tidak ingin melihat adikku berpasangan dengan yang seperti aku.

"Apa kamu tahu cinta?" ujarku kepada kekasih adikku.

"Tahu," jawabnya.

"Apa yang kamu tahu?" tanyaku kembali.

"Ya, cinta yang aku tahu, Kak," jawabnya, sedikit ragu.

"Yasudah, kalau kamu tahu, jelaskan apa itu cinta?" Itu adalah pertanyaan pertama saya.

Sambil tersenyum malu, ia mulai merangkai sedikit demi sedikit kata, "Em... susah, Kak," jawab dia yang sambil tersenyum tipis.

"Lah, katanya kamu tahu?" jawab saya yang meminta pertanggungjawaban atas pernyataan dia di atas.

Selagi dia memikirkan jawabannya, saya memberi pertanyaan lainnya.

"Kenapa kamu suka atau cinta dengan adik saya?" tanya ku yang kedua.

"Aduh, awalnya saya tatap-tatapan sama dia, Kak. Terus sudah saya mau dekati sejak lama," jawab dia dengan sedikit lega dan berharap pertanyaanku selesai.

"Oh ya, jadi kamu sekolah nggak pernah merhatiin jalan, buku, papan tulis, atau langit?" jawabku kembali, sambil menatapnya dengan tatapan penuh makna.

"Waduh, Kak, saya emang sayang sama dia," jawabannya yang sedikit membuatku gelisah.

"Oh, sayang? Kalau misalnya nanti putus?" Pertanyaan ku selanjutnya.

"Gaakan mungkin, Kak, aku nggak mandang dia dari fisik kok," jawabnya dengan meyakinkan.

Jawaban ini agak meyakinkanku agar aku percaya dengan dia. Namun aku tidak begitu mudah percaya.

"Kok nggak dari fisik? Kamu kan suka sama dia awalnya ngeliatin terus," pernyataanku yang ingin membuat dia sadar.

Dia menjawab dengan lantang, "Aku nggak akan ninggalin dia selama-lamanya! Gaakan mungkin!"

Wah, sedikit bergumam hati saya mendengar pernyataan itu. Saya mulai menanyakan kembali, "Jadi, apa itu cinta?"

Dia masih mencoba untuk berpikir untuk menjawab, dan jawabannya sedikit berantakan ketika saya tanyai.

"Cinta itu bukan dari fisik, Kak."

Waduh, cilaka... lalu saya kasih tahu letak kesalahan dan ketidaksinkronan dia dengan apa yang sudah ia lakukan.

"Gini, gimana kamu bilang cinta kamu nggak mandang fisik, kamu kan jatuh cinta ngeliatin dulu," jawabku dengan santai, seolah semuanya adalah lelucon.

Cinta yang Tidak Bisa Didefinisikan

Dia masih ngotot dengan apa yang sudah ia jawab, seakan-akan jawaban itu adalah jawaban absolut dan spesial. Padahal dalam nyatanya, saya tidak puas dengan jawaban-jawaban atau alasan-alasan dia yang coba untuk mendeskripsikannya.

Simplenya, jika memang cinta tidak bisa didefinisikan, jangan dibuat-buat untuk menjawabnya. Jika kau membuatnya dan kau sadar kalau cinta tidak bisa didefinisikan, maka kau sudah memanipulasi cinta itu sendiri. Cinta itu lebih dari sekadar definisi yang kau buat agar terdengar keren. Kalau cinta bisa didefinisikan, maka ia sudah kehilangan esensinya.

Kesimpulan Singkat:

Dari percakapan yang aneh dan menggelikan ini, aku melihat bagaimana cinta sering kali disederhanakan menjadi sesuatu yang mudah dijelaskan, padahal ia adalah konsep yang jauh lebih kompleks. Kekasih adikku, meskipun dengan niat baik, memberikan definisi yang tidak konsisten dan menggelikan tentang cinta. Cinta yang katanya "tidak melihat fisik", tetapi dimulai dengan ketertarikan fisik. Ketika kamu berusaha untuk mendefinisikan sesuatu yang tidak bisa didefinisikan, kamu justru sedang memanipulasi maknanya sendiri. Seperti itulah cinta—ia lebih baik dirasakan daripada didefinisikan, dan semakin banyak kita mencoba untuk memaksakan definisi, semakin kita melupakan esensi sebenarnya.



Komentar

Postingan Populer