Formula Surga: Sains, filosofi, dan imajinasi

 



Kita awali dengan abad ke-21 yang sedang kita pijak dan bersemayam ini. Di abad ini teknologi maupun sains telah membuat lompatan jauh dalam memahami apa yang selalu kita sebut dengan alam semesta. Dari black hole hingga genom manusia. Singkatnya jika ingin menjadi sebuah acuan agar mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh sains adalah bagaimana manusia sekarang menatap bintang. Sekarang, manusia tidak lagi sekedar menatap bintang dengan rasa takjub dan istimewa, tetapi juga menghitungnya, memetakannya, dan bahkan mencoba untuk meniru cara mereka lahir dan mati. Namun, sebuah pertanyaan muncul dari sela-sela penghuni kosmik ini tentang kemajuan yang terjadi: Apakah sains akan menemukan Surga.? Pertanyaan spontan yang keluar ketika saya sedang merenung dan meratapi akhir semester dengan tugas yang menumpuk ini. Bayangkan para ilmuwan di ruang kendali NASA, dengan peta kosmik yang memetakan begitu banyak galaksi. Jika saya ada disana mungkin saya akan sedikit bercanda, “bagaimana jika surga ada di galaksi ke-2.876 dari gugus Virgo?” Dengan sensor teleskop webb yang dapat menembus waktu kosmik, mungkinkah surga itu sebenarnya adalah planet yang terlalu suci untuk dihuni? Atau mungkin ia sekedar koordinat yang belum pernah kita pahami?

    Namun, seperti biasa, filsafat datang dan menghampiri dengan membawa skeptis. Pak tua Aristoteles mungkin akan berkata bahwa surga tidak akan ditemukan melalui peta bintang, karena itu adalah “tempat yang berada di luar ruang dan waktu.” Lalu datang Descartes dengan perkataan termasyhurnya, “aku berpikir, maka aku ada. Tetapi surga, apakah ia berpikir juga?” Di sini, bentuk keabsurdan dari manusia nampak jelas. Dalam pencarian akan hal ilahi, kita justru terjebak dalam metodologi yang sangat mencerminkan kita sebagai manusia. Masalah pertama yang saya temukan adalah mengenai definisi. Jika surga adalah suatu tempat, seperti yang dibayangkan oleh banyak tradisi agama, maka ia harus mempunyai definisi fisik. Dalam logika sains, surga membutuhkan koordinat dalam ruang dan waktu. Entah apa gunanya, mungkin untuk alamat gofood atau pengiriman paket. Tetapi tradisi agama Abrahamik, sering menggambarkan surga adalah bentuk realitas yang bersifat metafisik yang mampu melampaui peta ruang. Di sisi lain, beberapa ilmuwan mulai menggunakan metafora surga dalam diskusinya tentang alam semesta. Stephen Thong, eh, maksud saya Stephen Hawking dalam bukunya The Grand Design pernah berkata bahwa surga hanyalah “dongen bagi mereka yang takut gelap.” Pandangan yang satu ini, meskipun tajam, memperlihatkan bahwa gagasan surga dalam konteks ilmiah mungkin tidak lebih dari hiburan rakyat yang bersifat gratis bagi jiwa yang takut dengan kehampaan.

    Neuorosains? Ya, ketika neurosains mempelajari otak manusia, gagasan mengenai surga mulai berubah menjadi pengalaman yang bersifat subjektif. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa pengalaman “mendekati sebuah kematian” (near-Death experiences) adalah bukti dari adanya surga, tetapi penjelasan biologis tidak kalah menarik dari penjelasan yang sok keren saya tuliskannya di atas. Otak yang kekurangan oksigen menimbulkan ilusi cahaya terang, perasaan damai, atau bahkan “perjumpaan dengan Tuhan.” Jadi, mungkinkah surga hanya ilusi kimiawi yang dihasilkan oleh otak dari manusia? Entah, saya tidak tahu. David Chalmers, seorang filsuf, mungkin menyebut ini sebagai “masalah keras kesadaran.” Jika otak adalah sumber dari semua pengalaman, maka “surga” hanya eksis sejauh otak manusia dapat memahaminya. Surga, dengan itu, tidak dapat ditemukan oleh teleskop atau laboratorium, tetapi di dalam pikiran kita yang sedang sakaratul. 

    Guyonan lucu tercipta ketika saya bertanya mengenai bagaimana surga di masa depan nanti? Di masa depan nanti, mungkin sains akan benar-benar menciptakan surga secara harfiah. Dengan berkembangnya segala perkembangan teknologi simulasi dan AI, apa yang menghentikan manusia untuk menciptakan dunia digital yang sempurna? Ray Kurzwell, dalam visinya tentang singularitas teknologi, membayangkan saat ketika manusia dapat mentransfer kesadarannya ke dalam sebuah tabung yang bernama komputer, menciptakan realitas virtual tanpa batas. Dalam dunia ini, surga bukan lagi janji metafisik, tetapi pengalaman nyata yang diprogram sedemikian rupa oleh sains. Tetapi sekarang pertanyaannya, apakah itu benar-benar surga, atau hanya tiruan teknologi? Baudrillard mungkin mengingatkan kita bahwa “simulacra” (tiruan) tidak akan pernah bisa menggantikan realitas. Surga digital, meskipun sempurna, mungkin akan justru kehilangan aspek esensialnya: mencakup misteri dan ketidakpastian. Bayangkan saja jika dalam 50 tahun ke depan, perusahaan seperti Microsoft atau Apple memasarkan “Surga sebagai Layanan” (Heaven as a Service). Join yuk sekarang, anda hanya perlu membayar langganan bulanan untuk mengunggah jiwa anda ke dalam awan digital. Tentu saja, pasti akan ada tingkatan keanggotaan: dari “Surga Bronze” dengan diiming fitur dasar hingga “Surga Platinum” dengan keistimewaan seperti pertemuan pribadi dengan “Tuhan versi AI.” Di sini, kita melihat sebuah paradoks yang menggelitik. Manusia, yang bermimpi tentang surga sebagai akhir dari penderitaan material, justru menjadikan surga sebagai produk kapitalis lainnya. Nietzsche mungkin akan tertawa terbahak-bahak dari dalam kuburnya, “Tuhan telah mati, dan kini kalian ingin menjual-Nya?”

   Apakah sains akan menemukan surga? Pertanyaan terakhir ku di malam ini. Jawaban yang bisa ku realisasikan untuk ketenangan ku adalah, mungkin, tergantung pada bagaimana kita mendefinisikan surga itu sendiri. Jikalau surga adalah tempat fisik, maka sains mungkin akan terus mencari. Tetapi jika ia adalah pengalaman metafisik, maka sains hanya akan menggaruk kepalanya dengan kebingungan. Pada akhirnya, pencarian surga melalui sains lebih banyak bercerita tentang manusia daripada surga itu sendiri. Ia menunjukkan bahwa hasrat manusia untuk mengerti, menciptakan, dan dengan caranya yang unik mulai mempertanyakan segala hal, termasuk yang ilahi sekalipun. Jadi, apakah sains menemukan surga? TIDAK! Tapi perjalanan mencarinya bisa dia katakan sebagai kemungkinan. Kata dari “pencarian” surga menjadi sebuah cerita tersendiri tentang bagaimana sifat alamiah manusia dengan ambisi, ketakutan, dan daya ciptanya. Itu lebih mengasyikkan daripada tentang surga itu sendiri. Dengan demikian, surga tetaplah berada di persimpangan antara iman, pengetahuan, dan imajinasi. Manusia tidak hanya mencarinya, tetapi juga menciptakannya dengan berbagai banyak macam cara.


“Mungkin surga bukanlah titik koordinat bukan pula ciptaan teknologi, tetapi sesuatu yang ada dalam hati manusia itu sendiri: rasa damai, cinta, dan harapan akan sesuatu yang lebih besar dari diri kita.”

Komentar

Postingan Populer