Kapan Kita Bersama?

Kapan Kita Bisa Bersama?

Ah, pertanyaan klasik yang membuat siapa pun yang mendengarnya langsung terdiam sejenak, lalu merenung dalam. "Kapan kita bisa bersama?" adalah frasa yang lebih berat dari koper liburan tapi lebih sering kita bawa tanpa sadar.

Aku, kau, dan waktu seperti peserta dalam lomba lari estafet yang saling melempar tongkat, tapi tak pernah benar-benar menyentuh garis akhir bersama. Kau ada di depan sana, selalu sedikit lebih cepat, sementara aku tertinggal, sibuk memikirkan apakah sepatu yang kupakai sudah benar.

Tentu saja, setiap orang bilang kita akan bersama "nanti." Tapi apa itu nanti? Satu jam lagi? Besok? Atau di kehidupan berikutnya, setelah aku jadi kupu-kupu dan kau jadi bunga mawar? Orang-orang berbicara tentang "nanti" seperti itu adalah janji yang pasti, padahal sejatinya "nanti" adalah cara halus untuk berkata "aku tidak tahu."

Kau tahu, jika kita hidup di dunia paralel di mana logika tidak berlaku, aku mungkin sudah menarikmu ke sini dengan tali lasso imajiner. Tapi, sayangnya, dunia kita diatur oleh hukum gravitasi, waktu, dan kebetulan buruk. Jadi, alih-alih menarikmu, aku hanya bisa berdiri di tempat ini, berharap kau akhirnya menoleh.

Kita selalu bilang "tunggu waktu yang tepat." Tapi kapan tepat itu? Apakah ada jam tangan khusus yang berbunyi “Ding! Sekarang waktunya kalian bersama!”? Atau apakah tepat itu hanya mitos, seperti unicorn atau kereta yang datang tepat waktu?

Filsuf pernah berkata, “Hidup adalah soal menunggu.” Tapi mereka lupa menambahkan bahwa menunggu adalah pekerjaan yang memerlukan kesabaran seorang Buddha dan humor seorang badut. Di tengah semua ketidakpastian ini, aku sering bertanya-tanya: apakah kita benar-benar menunggu waktu yang tepat, atau kita hanya terlalu takut untuk melangkah?

Romantisme? Oh, tentu saja ada. Seperti di film-film, di mana dua orang bertemu kembali di bawah hujan, atau di stasiun kereta, atau di tengah perang dunia ketiga. Tapi hidup bukan film. Dalam hidup nyata, kita lebih sering bertemu kembali di chat grup keluarga, dengan pesan "Selamat pagi, Tuhan Yesus memberkati."

Namun, jangan salah. Aku bukan tidak percaya pada takdir. Aku hanya sedikit skeptis pada pengaturannya. Jika takdir adalah seorang sekretaris, maka dia mungkin lupa menjadwalkan pertemuan kita. Atau mungkin dia hanya menikmati melihat kita saling menunggu tanpa tahu kapan semua ini akan selesai.

Tapi meskipun semua ini terasa seperti lelucon kosmik, aku tetap bertahan. Karena, di tengah absurditas ini, ada sesuatu yang aku yakini: kita. Kau dan aku, terjebak dalam labirin waktu, adalah bukti bahwa harapan tidak pernah mati, meskipun sering kali tersandung.

Jadi, kapan kita bisa bersama? Jawabannya sederhana dan rumit sekaligus: ketika kita berhenti menunggu dan mulai bergerak. Atau mungkin ketika waktu akhirnya bosan mempermainkan kita. Sampai saat itu tiba, aku akan terus menyimpan pertanyaan ini, dengan senyum kecil di wajahku dan harapan besar di hatiku. Karena meskipun pertanyaan ini tidak punya jawaban pasti, ia tetap membuatku merasa hidup.

Komentar

Postingan Populer