Natal yang bagaimana?
Natal tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, datang dengan gemuruh perayaan. Pohon-pohon plastik dihiasi lampu kelap-kelip, mal-mal penuh dengan diskon "spesial Natal," dan suara lagu-lagu Natal yang terlalu sering diputar hingga terdengar seperti ancaman subliminal. Tetapi mari kita berhenti sejenak dan bertanya, "Natal yang bagaimana?" Apakah ini Natal yang kita maksudkan? Atau apakah kita semua hanya aktor dalam drama absurd yang tak berujung? Mari kita mulai dengan sang bayi di palungan, simbol paling sederhana dari Natal. Bayangkan ini: seorang bayi lahir di kandang domba, dikelilingi oleh bau jerami basah dan hewan ternak yang penasaran. Orang tuanya, sepasang pengungsi tanpa tempat tinggal, mencoba memberi yang terbaik di tengah situasi yang serba kekurangan. Dan kita, ribuan tahun kemudian, merayakan momen ini dengan... pesta mewah, hadiah mahal, dan kompetisi "pohon Natal siapa yang lebih besar"? Ironi ini begitu tajam hingga dapat memotong kue Natal Anda menjadi dua. Tapi tunggu, absurditas tidak berhenti di situ. Natal juga menjadi saat di mana kita berpura-pura peduli. "Berbagi kasih," kata mereka, sambil memotong anggaran sosial dan menaikkan harga kebutuhan pokok. Kita mengadakan acara amal besar-besaran, memamerkan foto-foto memberi makan orang miskin di Instagram, lalu kembali ke rumah dengan hati puas bahwa kita telah "melakukan bagian kita." Namun, apa yang terjadi setelah itu? Orang miskin tetap miskin, dan kita kembali sibuk memilih kado untuk pesta tukar hadiah. Dan mari kita bicarakan soal kado. Ah, ritual tahunan yang tak terhindarkan ini. Kita menghabiskan waktu berjam-jam mencari "hadiah yang sempurna" untuk orang-orang yang mungkin tidak benar-benar kita pedulikan, hanya untuk menerima sesuatu yang tidak kita butuhkan. Pernahkah Anda berpikir bahwa tukar kado adalah bentuk absurditas tertinggi? Kita semua bisa saja membeli barang yang kita inginkan sendiri, tetapi tidak, kita harus melalui permainan sosial ini untuk membuktikan bahwa kita "memahami" orang lain. Ironisnya, hadiah yang "sempurna" sering kali hanyalah hasil dari keberuntungan belaka. Kemudian ada pertanyaan besar tentang "makna Natal." Para filsuf mungkin akan menyebut ini sebagai pencarian ontologis yang tak berujung. Apakah Natal tentang kelahiran Yesus? Jika ya, mengapa kita lebih sibuk menghitung diskon daripada merenungkan makna kelahiran-Nya? Atau apakah Natal hanya alasan lain untuk liburan dan konsumerisme? Jika begitu, maka kapitalisme telah menang dengan gemilang. Kita telah mengubah momen sakral menjadi festival belanja terbesar dalam sejarah manusia. Dan jangan lupakan para "penjaga tradisi." Mereka akan berteriak, "Natal harus kembali ke akar spiritualnya!" sambil memegang cangkir kopi dengan tulisan "Merry Christmas" yang diproduksi secara massal di pabrik-pabrik yang pekerjanya bahkan tidak pernah mendengar tentang Natal. Mereka ingin kita menyanyikan lagu-lagu Natal yang "asli," tetapi apakah kita benar-benar memahami kata-kata dalam lagu itu? "Malam Kudus, sunyi senyap," katanya. Tapi kapan terakhir kali Anda mengalami malam Natal yang benar-benar sunyi? Mal-mal yang hiruk pikuk, pesta-pesta yang bising, dan petasan yang memekakkan telinga membuat malam Natal lebih mirip festival kegilaan daripada momen refleksi. Dan kemudian ada pohon Natal. Simbol keindahan dan harapan, katanya. Tetapi mari kita hadapi kenyataan: pohon Natal hanyalah pohon plastik yang akan dibuang setelah Tahun Baru, atau pohon asli yang ditebang hanya untuk layu di ruang tamu kita. Betapa ironis bahwa kita merayakan kelahiran kehidupan baru dengan memotong pohon hidup. Ini seperti merayakan ulang tahun seseorang dengan menghancurkan kue ulang tahunnya. Lalu, apa yang tersisa dari Natal jika kita mengupas semua absurditas ini? Mungkin hanya bayi di palungan, yang lahir tanpa kemewahan, tanpa lampu kelap-kelip, tanpa pesta. Bayi itu tidak membutuhkan diskon, tidak membutuhkan hadiah mahal, dan pasti tidak membutuhkan pohon Natal plastik. Yang dia butuhkan hanyalah cinta, perhatian, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Tapi di sinilah letak tantangan terbesar kita: bagaimana kita bisa kembali ke esensi Natal tanpa tersedot oleh absurditas modern yang telah kita ciptakan sendiri? Bagaimana kita bisa merayakan kelahiran Sang Juru Selamat sambil tetap jujur pada makna kelahiran itu sendiri? Mungkin jawabannya adalah dengan berhenti. Berhenti berpura-pura, berhenti membeli, berhenti berlomba-lomba. Mungkin kita hanya perlu duduk diam, merenung, dan bertanya pada diri sendiri, "Natal yang bagaimana yang benar-benar kita inginkan?" Karena jika Natal hanya tentang pesta, hadiah, dan hiasan, maka kita telah kehilangan arah. Tetapi jika Natal adalah tentang cinta, pengorbanan, dan harapan, maka mungkin masih ada harapan bagi kita semua. Jadi, Natal yang bagaimana yang Anda pilih tahun ini? Pilihan ada di tangan Anda. Tetapi satu hal yang pasti: bayi di palungan itu tidak membutuhkan pohon plastik Anda.
Komentar
Posting Komentar