CERITA SAMUDRA DAN MATAHARI

Samudra berjalan pelan menuju kampus, melangkah dengan gaya yang sangat khas. Bukan gaya yang keren, bukan juga gaya yang penuh percaya diri. Gaya Samudra adalah gaya orang yang sedang berpikir dalam diam, memikirkan hal-hal yang tak pernah selesai. Seperti misalnya, kenapa kopi di kampus selalu terasa lebih pahit dari kopi di rumah. Atau kenapa orang-orang selalu bilang, "jangan lupa senyum," padahal mereka sendiri sering lupa tersenyum. Hari itu, seperti biasa, Samudra berjalan dengan langkah yang sedikit lebih lambat, memandangi setiap detil jalanan yang tidak pernah berubah. Trotoar yang sama, lampu jalan yang sama, bahkan suara kendaraan yang sama. Semua terasa monoton. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang berbeda di langit pagi itu. Ada sesuatu yang membuat Samudra merasa dunia ini tidak sepenuhnya membosankan. Sesuatu yang membuat dia sedikit menoleh ke atas, yaitu Matahari, Bukan, bukan Matahari yang biasa, yang ada di atas kepala kita setiap hari. Ini adalah Matahari yang tampaknya baru saja bangun tidur, dan ia tidak sedang malas. Ia sedang sangat bersemangat untuk menyinari dunia. Samudra bisa merasakannya. Sinar Matahari kali ini seperti datang dengan kecepatan yang berbeda, seolah-olah ingin memberi tahu Samudra bahwa ia tidak boleh terlalu lama terbuai dengan pikirannya.
Dan di tengah perasaan itu, Samudra melihatnya. Matahari, dalam wujud manusia. Tentu saja, bukan Matahari yang berbentuk bola api raksasa itu, melainkan seorang gadis yang berjalan di depannya. Rambutnya tergerai, seolah-olah ditarik oleh angin yang tak tampak. Pakaian yang dikenakannya cerah, tidak seperti pakaian orang-orang yang biasanya lebih memilih warna gelap di pagi hari. Dia berjalan dengan langkah yang ringan, seperti sedang melayang. Setiap langkahnya terasa seperti ada sesuatu yang mengalir dalam diri Samudra. Sesuatu yang membuatnya terhenti sejenak, bukan karena dia takut, tapi karena dia merasa seperti sedang menghadap sesuatu yang terlalu besar untuk dipahami.
Samudra melangkah pelan, menyesuaikan langkahnya dengan langkah Matahari. Tidak ada percakapan. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Samudra hanya berjalan, mengikuti langkah Matahari yang seolah-olah tidak pernah berhenti. Ia merasa seperti sedang mengikutinya tanpa tujuan. Tapi kenapa? Kenapa dia merasa seperti ini? Apa yang dia cari? Mungkin dia hanya ingin tahu, apakah ada yang lebih dari sekadar jalanan yang membosankan ini.
Tapi tentu saja, Samudra tahu jawabannya. Tidak ada yang lebih dari itu. Tidak ada yang lebih dari sekadar mengikuti langkah-langkah orang lain tanpa tahu tujuan akhirnya. Samudra tersenyum sendiri. Dia suka berfilsafat, meskipun kadang-kadang, filsafatnya tidak ada artinya. Tapi siapa yang peduli? Dunia ini penuh dengan orang yang tidak tahu apa-apa, dan Samudra merasa dirinya adalah bagian dari mereka.
Matahari, yang tidak tahu bahwa Samudra sedang mengikutinya, terus berjalan dengan anggun. Ia tidak melihat ke belakang. Mungkin, menurut Samudra, itu adalah simbol dari kehidupan. Orang-orang berjalan dengan tujuan mereka sendiri, tanpa peduli siapa yang mengikuti mereka. Mungkin Matahari tahu, bahwa ia adalah Matahari, dan ia tidak perlu meminta izin untuk bersinar. Sama seperti Samudra yang merasa dirinya adalah Samudra, dan ia tidak perlu meminta izin untuk berjalan.
Namun, semakin dekat Samudra berjalan, semakin ia merasa seperti ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Apakah ini cinta? Tentu saja tidak. Samudra bukan orang yang percaya pada cinta yang datang tiba-tiba. Ini lebih seperti perasaan kagum, yang datang begitu saja tanpa alasan yang jelas. Seperti saat kamu melihat langit senja yang indah, dan kamu hanya bisa diam, terpesona oleh keindahannya, tanpa tahu harus berkata apa.
Samudra ingin sekali berbicara. Ingin sekali bertanya, "Kenapa kamu begitu cerah?" atau "Apa yang membuatmu begitu bersinar?" Tapi, tentu saja, Samudra tahu itu adalah pertanyaan yang bodoh. Siapa yang butuh alasan untuk bersinar? Bahkan Matahari pun tidak perlu alasan untuk bersinar. Itulah yang membuatnya begitu hebat.
Mereka sampai di gerbang kampus, dan Matahari akhirnya berhenti. Samudra juga berhenti, meskipun tanpa alasan yang jelas. Matahari berdiri di sana, menatap langit dengan tatapan yang kosong, seolah-olah ia sedang mencari sesuatu yang tidak bisa ditemukan. Samudra ingin sekali mendekat, ingin sekali berbicara, tetapi ia tahu bahwa itu tidak akan terjadi. Ada jarak yang tak terjangkau, seperti ada batasan yang tidak bisa dilewati.
Samudra menatapnya, dan untuk sesaat, dia merasa seperti seorang pengamat. Seorang pengamat yang hanya bisa melihat tanpa bisa ikut serta. Dia ingin mendekat, tetapi tidak bisa. Dia ingin tahu lebih banyak, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Dan akhirnya, ia hanya bisa berdiri di sana, diam, dan membiarkan perasaan itu mengalir begitu saja.
Matahari akhirnya berbalik, melangkah masuk ke kampus tanpa menoleh sedikit pun. Samudra tetap berdiri di sana, menatapnya hingga hilang dari pandangannya. Tidak ada percakapan, tidak ada kata-kata. Hanya ada Samudra yang berdiri di sana, merasa seperti ada sesuatu yang belum selesai, tetapi juga tahu bahwa itu tidak akan pernah selesai.
Dan ketika Samudra melangkah masuk ke kampus, ia merasa seperti ada yang berubah. Bukan karena pertemuan itu, bukan karena Matahari, tetapi karena dia baru saja menyadari satu hal yang sangat penting: kadang-kadang, kita hanya perlu mengagumi sesuatu dari jauh. Tanpa harus mendekat, tanpa harus tahu segalanya. Karena, seperti Matahari, ada hal-hal dalam hidup yang tidak perlu kita pahami untuk bisa menikmatinya.
Samudra tersenyum kecil. Mungkin, hidup memang seperti itu. Kita hanya perlu berjalan, mengalir, dan sesekali menoleh ke langit, untuk melihat bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari kita.
Samudra berdiri di tengah keramaian kampus, dikelilingi oleh teman-teman yang sibuk dengan dunia mereka sendiri, tetapi matanya tetap kosong, seperti sedang mencari sesuatu yang lebih jauh dari sekadar hiruk-pikuk ini. Di dalam hatinya, ada sebuah pemikiran yang terus berputar. Tentang pertemuannya dengan Matahari.
“Kenapa aku merasa seperti ini?” pikirnya. “Apa yang aku cari di sana? Apa yang membuatku begitu terpesona? Bukankah ini hanya pertemuan biasa? Seorang gadis berjalan di depanku, dan aku hanya mengikutinya seperti seorang pengikut yang bingung.”
Namun, semakin dalam Samudra merenung, semakin dia sadar bahwa mungkin inilah yang disebut dengan hidup. Tidak ada yang perlu dijelaskan, tidak ada yang perlu dipahami. Hanya ada perasaan yang datang begitu saja, tanpa alasan yang jelas. Seperti sinar Matahari yang menyinari bumi tanpa menunggu izin siapa pun, perasaan itu datang begitu saja, tanpa harus dipaksa.
Samudra menyadari bahwa pertemuan itu, meskipun tidak ada kata-kata, meskipun tidak ada percakapan, telah memberinya sesuatu yang lebih dari sekadar pengalaman biasa. Matahari, dengan segala kecerahannya, bukanlah sesuatu yang harus didekati atau dipahami sepenuhnya. Kadang-kadang, seperti halnya perasaan, kita hanya perlu mengaguminya dari jauh, tanpa perlu mengerti sepenuhnya.
“Kadang, kita hanya perlu menikmati keindahan itu,” pikir Samudra. “Tanpa harus bertanya kenapa, tanpa harus mengejar apa yang tak mungkin kita capai. Mungkin ini adalah cara hidup yang sebenarnya—mengalir seperti air, menerima yang ada, dan menikmati setiap momen tanpa harus menuntut lebih.”
Dia tersenyum kecil, menyadari bahwa mungkin itulah yang dia cari selama ini. Bukan jawaban, bukan penjelasan, tetapi sebuah perasaan yang hanya bisa dirasakan, bukan dipahami. Dan dengan senyuman itu, Samudra melangkah maju, menyadari bahwa kadang-kadang, pertemuan yang paling berarti adalah yang tidak pernah terucapkan.

Komentar

Postingan Populer