Seandainya Natal itu Kamu



Ga kerasa udah mau Natal ya? Dunia kayaknya cepet banget deh atau jangan-jangan aku yang ga merhatiin perkembangan dunia yang cepet ini? Aku mau bicara seandainya tentang Natal, perhatiin ya. Seandainya Natal ini kamu, tentu dunia akan jauh lebih berwarna, setidaknya di mataku. Pohon cemara akan iri karena kamu berdiri lebih gagah dari semua hiasannya. Lampu-lampu kelap-kelip mungkin akan kalah bercahaya dengan senyum simpulmu yang selalu membuatku lupa bahwa aku punya mulut untuk berbicara. Bahkan aku berani taruhan walaupun taruhan itu dosa, Sinterklaus akan mengambil pesangonnya dan mulai pensiun dini karena siapa yang butuh hadiah dari pria berjanggut tebal kalau ada kamu, lengkap dengan segala keajaibanmu? Tapi, sayangnya kamu bukan Natal uey…,kamu hanyalah kamu, yang lebih sulit dipahami daripada surat Paulus kepada jemaat di Korintus. Yang bahkan ketika aku ingin mendekat, malah membuatku tersesat kayak orang Majus yang lupa bawa Google Maps. 

Kamu tahu, kalau Natal itu sederhana? Ya, cukup ada lilin, lagu “Malam Kudus,” dan ibu-ibu yang sibuk ngebagiin kue kering. Tapi kamu, ah…, kamu tidak sesederhana itu! Untuk mendekatimu, aku butuh strategi yang lebih rumit daripada teologi Trinitas. Rasanya seperti membungkus kado tanpa solatip: tentu susah karena aku ga kreatif, tapi anehnya tetap aku coba. Seandainya Natal ini kamu, aku bakal pastiin setiap detik yang ada kamunya aku anggap seperti perayaan. Aku bakal nyiapin malam yang ga kudus-kudus amat sih.., karena aku bakal nyiptain suasana hangat dengan gelak tawa yang mungkin akan sedikit receh. Tidak ada kidung “Malam Kudus,” cukup playlist lagu-lagu dari Spotify kamu atau pengamen yang aku suruh nyanyi lagu favorit kamu. Tapi sayangnya kamu bukan Natal. Kamu adalah pertanyaan yang gak ada jawabannya. Kayak, kenapa Juru Selamat lahir di kandang domba, atau kenapa aku tetap memikirkanmu meskipun kamu gak pernah mikirin aku?

Jadi, Natal ini tetaplah tentang Dia, bukan kamu! Tentang kelahiran-Nya, bukan kisah kita yang bahkan belum lahir. Tapi, kalau kebetulan kamu membaca ini, aku harap kamu tau: seandainya Natal ini kamu, aku gak butuh lagi pohon cemara yang dihias atau kado yang berisi PS 5 atau handphone keluaran tahun 4589. Kamu aja udah cukup. Namun, sampai saatnya itu tiba atau jika memang tiba, aku akan tetap merakan natal dengan secangkir cokelat hangat, sebuah doa yang tidak muluk-muluk, dan diam-diam berharap agar suatu hari nanti, kamu adalah kado untuk Natal berikutnya. Sederhana, kan? Atau setidaknya lebih sederhana daripada mencoba memahami kamu.

Tapi, tunggu dulu……

Seandainya Natal ini kamu, aku mungkin harus memperbaiki diri terlebih dahulu. Sebab, bagaimana aku bisa merayakan Natal dengan kamu kalau aku masih sibuk mikirin apa yang gak ada dalam diriku? Natal itu mengajarkan tentang kasih yang dahsyat, kamu kan belajar teologi, harusnya kamu paham. Tapi aku malah sibuk ngukur apakah aku cukup baik untuk sekedar duduk di sebelahmu. Seandainya Natal ini kamu, aku akan berhenti mencari kesempurnaan. Aku bakal coba belajar nerima bahwa mungkin tidak semua hal berjalan seperti rencana, dan itu tentu tidak apa-apa, walau terkadang jengkel. Mungkin tidak semua dialog kita harus diakhiri dengan “aku paham,” karena toh aku juga tidak selalu paham kenapa salju turun di tempat-tempat yang tidak membutuhkan, sementara di sini kita hanya mendapatkan hujan deras dan petir. 

Tapi, sampai saatnya itu tiba, biarkan Natal ini tetap menjadi pengingat bahwa keajaiban tidak hanya datang dari apa yang kulihat atau kudekati, layaknya charlie yang berada di film chocolate factory. Keajaiban Natal adalah perihal iman (sedikit berbau teologis tapi tidak apalah…,) bahwa meski aku tidak tau apakah kamu akan menjadi bagian dari masa depanku, atau tetap percaya bahwa ada rencana yang lebih indah dari segala keabsurdan pikiran ku. Dan ya…, satu lagi. Kalau kamu nanti dapet wangsit dan nanya ke aku, “apa yang kamu pikirkan ketika natal?” Aku bakal jujur menjawab: aku mikirin Dia, Sang Juru Selamat, dan aku mikirin kamu, orang yang diam-diam aku diamkan, itu aja sih…Sebab, seandainya Natal ini beneran kamu, maka mungkin aja, untuk pertama kalinya, aku tidak perlu mencari keajaiban lain lagi. Kamu kan udah jadi jawabannya, gitu aja perlu nanya! Tapi kan kamu belum datang, entah kejebak salju atau kereta yang macet, tapi kan Indonesia ga mungkin ada salju. Jadi, yasudahlah…aku lebih suka ngarang cerita biar semua terlihat baik-baik saja.


“Natal itu berbicara tentang harapan. Jadi, berharaplah! Aku sudah mengantisipasi harapanku jika itu tidak terjadi. Aku berharap lagi agar harapanku bisa terjadi, itulah antisipasinya.”

Komentar

Postingan Populer