Apa Kabar Bayangmu?


Ada seorang perempuan yang aku kagumi. Kamu tahu kan, kagum? Itu semacam versi murah dari cinta, tapi tetap mahal di hati. Kagum itu ibarat ngeliat menu restoran mahal. Kamu tahu itu bagus, kamu suka, tapi nggak yakin bisa bayar. Nah, perempuan ini adalah menu itu. Dia bukan perempuan biasa. Dia seperti perpaduan langka antara hujan gerimis sore hari dan aroma kopi yang baru diseduh. Tenang, menyejukkan, tapi bikin aku sedikit gelisah, karena aku tahu aku nggak akan pernah bisa jadi apapun yang ada di dunianya. Kalau aku hujan, mungkin aku cuma hujan deras yang bikin orang buru-buru pulang. Dia itu… gimana ya? Seperti paragraf pertama buku bagus. Kamu langsung tahu ini bakal jadi cerita yang layak diikuti, tapi kamu juga sadar kalau mungkin kamu nggak akan pernah cukup pintar untuk memahami seluruh babnya. Sementara aku? Aku paling-paling cuma jadi catatan kaki di buku itu. Aku kagum sama cara dia bicara. Dia bisa menyusun kata seperti perancang busana menyusun kain—sempurna, pas, tanpa ada yang terbuang. Kalau aku? Aku bicara seperti kucing yang baru jatuh dari atap. Berantakan, penuh suara yang bikin orang bingung, tapi tetap aku lakukan. Tapi anehnya, aku nggak pernah merasa kecil di depannya. Dia nggak pernah bikin aku merasa rendah, meskipun aku tahu aku ini levelnya masih di bawah rata-rata. Dia punya cara untuk tersenyum yang membuat semua kebodohanku seolah sah-sah saja. Kadang aku pikir, “Mungkin dia ini malaikat,” tapi langsung aku bantah sendiri, karena malaikat nggak mungkin secantik itu. Aku juga kagum dengan caranya menghadapi hidup. Dia seperti punya manual book yang nggak pernah aku baca. Kalau hidupku ibarat komputer Windows lama yang sering nge-hang, hidup dia itu kayak MacBook baru—mulus, cepat, dan semua hal terlihat lebih mudah. Sementara aku masih sibuk cari shortcut untuk memperbaiki crash dalam pikiranku sendiri. Dan tahu nggak? Dia bahkan nggak sadar kalau dia dikagumi. Itu yang bikin aku tambah bingung. Dia jalan santai aja, nggak ada tanda-tanda dia tahu ada aku di belakangnya yang mikir, “Bagaimana bisa seseorang sesempurna ini ada di dunia nyata?” Tapi ya, aku ini cuma aku. Kalau dia adalah lukisan di museum seni, aku paling-paling cuma coretan pensil di buku catatan anak sekolah. Kalau dia matahari pagi yang hangat, aku cuma lampu neon 5 watt yang kedip-kedip karena hampir rusak. Aku sering bertanya pada diri sendiri, kenapa aku harus kagum sama dia? Apa ini semacam hukuman atas semua keputusan bodoh yang pernah aku buat? Tapi kemudian aku sadar, mungkin ini bukan hukuman. Ini cuma Tuhan yang lagi iseng. “Nah, aku kasih kamu seseorang yang bikin hidupmu berwarna. Tapi jangan harap bisa memilikinya.” Kamu tahu apa yang paling lucu dari kekagumanku ini? Aku tahu dia bahkan nggak punya waktu untuk memikirkan aku. Kalau aku ini TV jadul dengan antena rusak, dia adalah channel premium yang nggak pernah bisa aku tangkap. Tapi, anehnya, aku nggak keberatan. Aku tetap duduk di sini, memandang dari jauh, sambil berharap setidaknya aku bisa jadi latar belakang di cerita hidupnya. Kadang aku berpikir, bagaimana kalau dia tahu? Apa yang akan dia lakukan kalau dia tahu ada seseorang di sini, yang memandanginya dengan campuran rasa kagum dan minder? Aku yakin dia cuma akan tertawa kecil, lalu bilang sesuatu seperti, “Ah, kamu lebay banget.” Dan aku akan mengangguk, karena dia benar. Aku memang lebay. Tapi begini, kagum itu nggak harus logis, kan? Kagum itu nggak butuh alasan. Aku nggak perlu tahu kenapa dia suka memakai baju warna pastel, atau kenapa dia bisa tertawa selebar itu tanpa kelihatan aneh. Aku cukup tahu bahwa dunia ini jadi sedikit lebih baik karena dia ada di dalamnya. Aku juga sadar, mungkin kekaguman ini nggak akan ke mana-mana. Mungkin aku akan terus duduk di sini, menulis, sambil sesekali tertawa sendiri atas absurditas ini. Tapi nggak apa-apa. Kadang hidup nggak perlu selalu masuk akal. Kadang, cukup dengan tahu bahwa dia ada, itu sudah cukup. Jadi, apa aku akan berhenti mengaguminya? Mungkin tidak. Aku tahu aku bukan siapa-siapa, dan dia, yah, dia adalah segalanya yang aku tahu aku nggak akan pernah bisa jadi. Tapi, di tengah semua kekacauan ini, aku merasa beruntung. Karena, setidaknya, aku pernah tahu seperti apa rasanya mengagumi seseorang yang membuat dunia terasa sedikit lebih indah, meskipun aku tahu aku hanya menjadi penonton dari jauh. Dan, kalau dia membaca ini—walaupun aku yakin dia nggak akan pernah tahu ini ada—aku cuma mau bilang: terima kasih sudah ada. Bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu mengingatkanku bahwa dunia ini masih punya hal-hal indah yang layak dikagumi, bahkan dari sudut pandang orang yang sesatir ini.

"Mengagumi dia itu seperti nonton trailer film bagus—nggak perlu berharap bisa main di dalamnya."


Komentar

Postingan Populer