Matahari dari Barat
Pernahkah kamu mendengar kabar tentang matahari yang terbit dari Barat? Jangan keburu mencari teleskop untuk membuktikannya, sebab ini bukan urusan astronomi. Ini soal filsafat, soal pikiran, soal terang yang, katanya, mengubah gelap menjadi siang. Barat dengan angkuhnya berkata, "Lihatlah, kami ini matahari bagi dunia. Kami membawa terang yang kau butuhkan, wahai Timur yang malang."
Tapi tunggu dulu, sebelum kita percaya, mari kita kupas apa maksud si matahari ini. Apakah ia benar-benar membawa terang, ataukah ia hanya sekadar lampu neon yang gemetar di tengah badai listrik? Barat dengan bangga mempersembahkan rasionalisme. "Cogito ergo sum," kata Descartes. Aku berpikir maka aku ada. Hebat sekali. Tapi bukankah pernyataan itu sama seperti berkata, "Aku lapar maka aku manusia?" Karena pada dasarnya, berpikir adalah bagian dari sifat manusia, bukan keajaiban. Barat mengajarkan bahwa segala sesuatu harus diuji oleh akal. Tuhan pun disuruh berbaris, menunggu giliran diadili logika.
Dan Timur, oh Timur, yang katanya kegelapan, melihat ini sebagai wahyu. "Ayo kita adopsi! Kalau mereka punya logika, kita juga harus punya." Lalu dimulailah parade tiruan; dari sistem pendidikan hingga cara berpakaian, semua berusaha mencerminkan si Barat. Tapi lucunya, dalam upaya mengejar terang itu, kita malah kehilangan sesuatu: kebijaksanaan.
Filsafat Barat suka bermain pedang. Mereka mengayunkan argumen tajam untuk memotong segala mitos dan tradisi. Tapi seperti pedang bermata dua, sering kali mereka justru melukai dirinya sendiri. Nietzsche misalnya, yang membunuh Tuhan dalam sebuah deklarasi yang lebih dramatis daripada opera Wagner. "Tuhan sudah mati," katanya. Tapi di mana dia sekarang? Nietzsche mati di sebuah rumah sakit jiwa, bergumam seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.
Tapi ironisnya, banyak orang Timur mengagumi Nietzsche. "Ini baru filsafat!" kata mereka, sambil menutup kitab-kitab kebijaksanaan nenek moyang yang mengajarkan harmoni dan keseimbangan. Apa yang kita dapat dari Nietzsche selain kekosongan? Kekosongan yang diberi nama "nihilisme" ini kini dijual seperti barang mewah. Semakin kosong hidupmu, semakin modern dirimu.
Barat juga menawarkan demokrasi, dengan janji bahwa ini adalah sistem paling adil yang pernah diciptakan manusia. Tapi benarkah demikian? Demokrasi, dalam praktiknya, sering kali seperti lotre. Yang menang bukan yang terbaik, tapi yang paling banyak menjual janji. Timur yang dulu penuh dengan kepemimpinan berbasis kebijaksanaan, kini menjadi ladang permainan politik yang penuh manipulasi.
Demokrasi Barat seperti menjual harapan palsu, seperti pedagang kaki lima yang menjanjikan obat mujarab untuk segala penyakit. Dan kita, pembeli yang putus asa, meminum pil itu tanpa berpikir dua kali, hanya untuk menemukan bahwa sakit kepala kita semakin parah.
Mereka juga membawa konsep kebebasan. Ah, kebebasan! Kata yang manis, seperti madu, tapi sering kali membuat kita mabuk. Kebebasan ala Barat itu sering terasa seperti pesta di mana semua orang diundang, tapi hanya segelintir yang benar-benar menikmati. Timur yang dulu hidup dengan prinsip gotong royong kini harus menghadapi masyarakat yang makin individualis. "Aku bebas melakukan apa pun," kata seseorang, sambil melupakan bahwa kebebasan yang tidak bertanggung jawab hanya menciptakan kekacauan.
Tapi, di balik segala kekacauan ini, Timur diam-diam tertawa. Sebab meskipun terang dari Barat itu datang dengan segala kebanggaannya, ia juga membawa bayangan. Bayangan yang panjang dan gelap, yang menutupi keindahan kebijaksanaan lokal yang telah ada selama ribuan tahun.
Barat mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kekuatan. Tapi Timur tahu bahwa kebijaksanaan adalah kebahagiaan. Barat berlari dengan kecepatan cahaya, tapi Timur berjalan perlahan, menikmati pemandangan. Dan mungkin, dalam perlahan itu, Timur menemukan sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh Barat: makna.
Tentu saja, kita tidak menutup mata terhadap manfaat yang mereka bawa. Sains, teknologi, dan berbagai kemajuan yang mengubah dunia kita memang datang dari Barat. Tapi, apakah itu cukup untuk disebut sebagai terang? Jika kemajuan itu hanya melahirkan ketimpangan, eksploitasi, dan krisis eksistensial, bukankah itu lebih mirip api yang membakar daripada matahari yang menyinari?
Di dunia yang semakin sempit oleh globalisasi, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita hidup untuk mengejar terang Barat, ataukah kita mampu menciptakan terang sendiri? Sebab matahari sejati bukanlah tentang dari mana ia terbit, tetapi bagaimana ia memancarkan cahayanya. Timur dan Barat hanyalah arah. Manusia, dengan segala akal dan nuraninya, adalah sang pengarah.
Jadi, ketika matahari dari Barat mulai redup oleh bayangannya sendiri, kita punya pilihan: menjadi peniru yang tak tahu arah, atau menciptakan terang baru yang lebih seimbang. Bukan hanya untuk Timur, bukan hanya untuk Barat, tetapi untuk dunia yang benar-benar ingin hidup dalam harmoni.
Komentar
Posting Komentar