Bayangan kesempurnaan di Agora
Di sebuah pagi yang hangat di Athena, seorang pengemis duduk di sudut Agora (Sebuah pusat kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di kota-kota Yunani). Ia tak berbicara, tak meratap, hanya mengacungkan tangan setinggi kepalanya. Orang-orang mulai membicarakannya—ada yang mengatakan ia dikutuk oleh para dewa, ada pula yang beranggapan bahwa ia tengah menjalani hukuman yang tak jelas asal-usulnya. Namun, pengemis itu tetap diam, membiarkan asumsi berlalu bersama angin kota. Pada suatu hari, seorang penyair ternama yang tengah kebingungan mencari inspirasi melangkahkan kaki ke Agora. Ia merasa buntu, kehilangan gagasan, dan berharap dengan berjalan di tengah keramaian, ia akan menemukan sesuatu yang dapat membangkitkan kembali gairah karyanya. Seperti biasa, orang-orang mengerumuninya, ingin melihat wajahnya, memastikan bahwa ia adalah manusia biasa dan bukan titisan Apollo, dewa cahaya dan seni. Saat melangkah di antara kerumunan, penyair itu melewati pengemis yang tak pernah ia perhatikan sebelumnya. Namun, tiba-tiba tangannya ditarik kuat oleh pengemis tersebut. Begitu keras genggamannya hingga hampir merobek pakaiannya. Dengan nada sinis, penyair itu bertanya,
"Apa maksudmu menarik tanganku dengan genggaman sekuat ini hingga hampir koyak pakaianku?"
Pengemis itu, yang selama ini hanya diam, akhirnya berbicara, "Saya ingin menanyakan sesuatu kepada tuan."
"Apa pertanyaan yang begitu mendesak hingga kau harus melakukan ini kepadaku?" tanya sang penyair, masih dengan nada kesal.
"Tuan, apa itu kesempurnaan?"
Penyair itu menatapnya dengan heran. Dari semua pertanyaan yang mungkin ia dengar dari seorang pengemis, ini adalah yang paling tidak disangkanya.
"Mengapa kau ingin tahu tentang kesempurnaan?" tanyanya.
"Apakah saya yang tidak pernah bertemu dengan Socrates tidak boleh mengetahui tentang kesempurnaan? Apakah baju kotor, dekil, serta compang-camping ini tidak memiliki hak untuk menjadi bagian dari kesempurnaan?" jawab pengemis itu.
Penyair itu terdiam. Mengingat perkataan gurunya yang didengarnya tiga minggu lalu, ia akhirnya menjawab,
"Kesempurnaan bukanlah suatu kondisi yang tetap. Kesempurnaan adalah bagian dari proses pencarian akan kebenaran."
Pengemis itu merenung sejenak sebelum bertanya lagi, "Jika kesempurnaan adalah sebuah proses bagi mereka yang mencari, apakah saya telah gagal dalam pencarian itu, sehingga nasib saya berakhir seperti ini?"
Penyair itu memejamkan mata, berpikir keras sebelum akhirnya berkata, "Tak ada yang gagal dalam mencipta. Kau masih di sini, bertanya kepadaku, mencari sesuatu yang bahkan aku sendiri hanya tahu dari guruku tanpa menggali lebih dalam. Dalam pencarian ini, kau telah melampaui diriku."
Pengemis itu tidak puas. Ia bertanya lebih jauh, "Mungkinkah kesempurnaan bersifat kadar dan bukan sekadar proses? Kesempurnaan bisa diraih ketika seseorang merasa bahwa dirinya sudah layak, walaupun miskin seperti diriku?"
Penyair itu tersenyum tipis. Ia menyadari bahwa percakapan ini telah mengungkap sesuatu yang lebih dalam dari sekadar filsafat. Dengan mata berbinar, ia berkata, "Kau telah mengajarkanku sesuatu yang lebih dalam dari yang pernah aku renungkan. Aku akan pulang, menulis sajak, dan besok aku akan kembali ke sini untuk memberikanmu jawaban yang lebih indah."
Dengan itu, ia pergi, meninggalkan pengemis yang kini tak lagi tampak sebagai sosok yang tak memiliki apa-apa. Ia memiliki pemikiran, pertanyaan, dan lebih dari segalanya, ia memiliki pencarian.
Kesempurnaan itu seperti bayangan di siang hari—selalu ada, tapi tak pernah bisa digenggam. Orang-orang sibuk mencarinya, berpikir bahwa semakin dekat mereka berjalan, semakin nyata wujudnya. Padahal, semakin dikejar, semakin menjauh. Si pengemis dalam cerita bukanlah sekadar orang miskin yang kebetulan lapar, tapi seorang filsuf tanpa gelar, seorang pemikir yang tidak butuh podium. Ia menampar penyair dengan pertanyaan yang lebih tajam dari pisau, membuatnya sadar bahwa ia sendiri tak lebih dari burung beo yang mengulang kata-kata gurunya. Sang penyair, yang awalnya merasa lebih tahu, akhirnya tersadar bahwa kebijaksanaan tak selalu lahir dari buku atau guru terkenal. Kadang, justru muncul dari seseorang yang bahkan tak punya tempat tinggal. Mungkin pengemis itu lebih sempurna dari siapa pun di Agora, karena ia tahu satu hal yang banyak orang lupa: kesempurnaan bukan sesuatu yang harus dicari, tapi sesuatu yang harus dipahami—bahwa ia tak pernah benar-benar ada.
Komentar
Posting Komentar