Kamu? Susahlah pokoknya!




Menatapmu itu lelucon. Bukan karena wajahmu kayak badut, nggak, aku masih waras. Tapi pikiranku ini bingung, kayak orang baru pertama kali naik angkot terus panik gara-gara lupa bawa uang pas. Duduk di mana aja nggak nyaman, takut kalau turun di tempat yang salah, atau lebih parah, malah disuruh bayar dua kali. Pikiranku ini sok akademis. Kayak dosen yang kalau ngajar lebih banyak cerita pengalaman hidup daripada ngasih materi. Jadi, tiap kali ada hal yang nggak bisa dijelasin pakai logika, dia langsung stres. Contohnya? Ya, kamu. Setiap aku ngeliat kamu, ada sesuatu yang bikin pikiranku kayak anak kecil yang dikasih tahu kalau bulan itu sebenernya cuma batu gede yang ngambang di langit. Ini kagum? Ini efek kafein yang terlalu dini? Atau ini cuma efek samping dari makan gorengan kebanyakan? Aku juga nggak ngerti, dan pikiranku lebih milih pura-pura sibuk aja. Setiap kali aku liat kamu, pikiranku kayak lagi ngerjain soal matematika yang tiba-tiba berubah jadi teka-teki silang. Awalnya mau mikir serius, tapi kok makin dipikir malah makin nggak jelas. Kayak orang yang pertama kali main lato-lato—udah ngerti caranya, tapi tetep aja bolak-balik kena jari.
Logika dalam kepalaku kadang suka sok tau. Kayak tetangga yang hobinya ngomentarin anak muda padahal dia sendiri udah lama lupa rasanya muda. "Kenapa sih matamu selalu nyari-nyari dia?" tanyanya. Seakan-akan kamu itu cheat code dalam hidupku yang kalau dipencet bisa langsung level up. "Emangnya ada yang spesial?" pikiranku nyinyir. Aku mau jawab, tapi takut dia makin ngakak. Karena kalau dipikir-pikir, ini konyol. Kenapa aku peduli? Kenapa aku merhatiin caramu ketawa? Kenapa aku inget banget gimana ekspresimu kalau lagi serius? Ini kan bukan drama Korea. Tapi semakin aku coba cuek, semakin pikiranku sendiri yang ribet. "Oh, aku cuma liat karena kebetulan aja," katanya. "Nggak, aku cuma penasaran sama yang dia omongin," katanya lagi. "Eh, bukan... aku iseng doang," tambahnya, kayak maling yang kepergok tapi masih sok tenang. Kalau pikiranku ini orang beneran, mungkin sekarang dia udah geleng-geleng sambil ketawa ngakak, ngetawain kebodohannya sendiri. Tapi begitulah pikiranku. Nggak bisa nerima kalau ada hal-hal yang nggak punya jawaban jelas. Mungkin menatapmu itu ya… cuma menatap. Kayak orang bengong pas liat harga bensin naik lagi. Bukan soal suka atau kagum atau gimana-gimana. Mungkin ini cuma algoritma semesta yang lagi error. Kayak hujan deras yang datang pas kita lupa bawa jas hujan, atau angin yang tiba-tiba bawa aroma gorengan tetangga yang bikin laper. Mungkin pikiranku cuma butuh waktu buat nerima kalau nggak semua hal harus dianalisis sampai gosong. Kadang, sesuatu cukup dirasain aja. Kayak kenapa orang suka bau tanah basah, kenapa kucing selalu duduk di atas laptop, atau kenapa kita tetep makan mie instan padahal kita tahu itu nggak sehat.
Kalau hidup ini film, kamu mungkin adalah plot twist yang nggak ada di trailer. Awalnya kelihatan biasa aja, eh, tau-tau ada adegan yang bikin aku diem sejenak. Padahal, aku pikir aku tipe orang yang kebal sama hal-hal kayak gini. Aku pikir aku bisa duduk di ruangan yang sama tanpa harus merhatiin siapa pun. Aku pikir aku bukan tipe yang gampang terdistraksi. Tapi ternyata, keberadaanmu tuh kayak efek spesial yang bikin filmnya jadi lebih menarik. Aku nggak bilang kamu segalanya, ya. Nggak sampai ke tahap “tanpamu aku hanya seonggok remah rengginang di tengah derasnya hujan.” Aku masih punya kopi, masih punya tugas, masih punya janji temu sama deadline. Tapi tetap aja, tiap kali aku nyoba nggak peduli, pikiranku malah balik lagi ke satu pertanyaan: Kenapa aku selalu sadar kalau kamu ada di dekatku.? Aku nggak tahu apakah ini sesuatu yang perlu dicemaskan atau cuma gangguan kecil yang sebentar lagi bakal ilang sendiri. Tapi yang jelas, menatapmu itu seperti melihat sesuatu yang aku nggak ngerti, tapi entah kenapa aku tetap pengen lihat lagi. Mungkin ini kayak nonton film yang ending-nya bikin bingung. Kamu tahu nggak, film yang setelah selesai ditonton orang-orang langsung Googling, “Ending film ini maksudnya apa?” Nah, pikiranku persis kayak gitu tiap kali aku sadar aku lagi merhatiin kamu.
Aku tahu, biasanya kalau orang udah ngomong sepanjang ini, harusnya ada kesimpulan di akhir. Tapi maaf, nggak ada. Kesimpulan tuh overrated. Mungkin ini cuma fase. Mungkin besok atau lusa aku bakal lupa. Mungkin nanti aku bakal ketemu orang lain yang lebih menarik, yang lebih gampang dipahami oleh pikiranku yang sotoy ini. Atau… mungkin juga nggak. Mungkin aku akan terus menertawakan diriku sendiri tiap kali aku kepergok lagi merhatiin kamu tanpa alasan yang jelas. Dan kalau kebetulan kamu baca ini dan bertanya-tanya, “Kenapa dia bisa ngomong sepanjang ini cuma buat sesuatu yang sepele?” Jawabannya simpel: Aku juga nggak tahu. Pikiranku masih ketawa. Dan aku? Aku cuma duduk di sini, menikmati lelucon yang bahkan aku sendiri nggak paham.

Komentar

Postingan Populer