Mengenai Bulan
Sebelum saya memutuskan untuk mandi, atau lebih tepatnya ketika saya sudah masuk kamar mandi untuk membersihkan diri karena terkena hujan di hari Minggu ini, saya terfikir mengenai pertanyaan yang tiba-tiba datang layaknya hantu. Pertanyaan itu muncul bukan sebagai gangguan yang menghilang begitu saja, melainkan sebagai bisikan yang menggema dalam ruang kesadaran saya, memaksa saya untuk berhenti sejenak, mengendapkan diri dalam pusaran pikir yang barangkali tak akan menemukan ujung. Di satu waktu yang sama pula, saya mengurungkan niat saya untuk mandi dan mulai kembali lagi ke dalam kamar, sekadar membuat tulisan yang tidak jelas dan hitung-hitung menjadi pengantar saya untuk mandi, meskipun pada akhirnya tulisan ini justru semakin menarik saya ke dalam perenungan yang jauh lebih dalam.
Berawal dari kenangan-kenangan yang bersemayam di dalam pikiran saya, menciptakan riak-riak halus yang meluap hingga membentuk sebuah pertanyaan inilah yang menjadikan saya tidak jadi mandi untuk beberapa waktu. Dalam keberadaan yang sepi, dengan kamar kos yang terasa seperti peti mati—tertutup, sunyi, dan hanya berisi gema pemikiran yang terus berdenting—pertanyaan itu bermula: “Apakah matahari dan bulan pernah saling jatuh cinta?” Jika memang iya, mungkin jarak dan waktu lah yang memperlambat, atau setidaknya yang tidak akan pernah bisa menyatukan dua terang yang sama-sama kita butuhkan. Namun, pertanyaan itu tidak hanya berhenti di situ. Ia berkembang, menjelma menjadi kemungkinan lain yang lebih menggigit: “Tapi bukankah, jika mereka berdua bersatu, sebuah fenomena akan terjadi yang mungkin akan memperburuk keberadaan manusia?”
Di sinilah letak keanehan itu muncul. Dengan senyum yang samar dan pemahaman yang mulai menampakkan dirinya dalam benak saya, saya menjawab pertanyaan saya sendiri dengan keyakinan yang absurd: “Mungkin tak selamanya yang bersatu itu baik, mungkin dengan jarak yang berjauhan akan lebih mudah menunjukkan bahwa mereka saling melengkapi.” Jawaban itu sekilas terdengar seperti kepasrahan, tetapi ada sesuatu yang lebih besar di dalamnya—sebuah kesadaran akan keterpisahan yang justru menjadi alasan eksistensi. Dan dari titik itulah, saya kembali bertanya, bukan lagi tentang matahari dan bulan, melainkan tentang diri saya sendiri: “Lantas, saya bagaimana?” Pertanyaan kedua yang lahir dari refleksi pertama. Sebuah pertanyaan yang, meskipun tampak sederhana, sesungguhnya membawa beban lebih berat daripada yang saya kira.
“Oh, tenang,” jawab saya pada diri sendiri dengan nada yang entah menyindir atau menenangkan, “layaknya matahari dan bulan, mungkin saya akan seperti mereka. Menerangi orang yang saya tidak cintai.” Tentu, ini bukan tentang siapa yang lebih terang. Ini hanya perihal aku. Aku sang bulan, yang keberadaannya hanya berarti karena pantulan dari cahaya matahari. Jika dipikir-pikir, matahari tidak perlu bulan untuk bersinar, sedangkan bulan membutuhkan matahari agar cahayanya tetap ada. Dengan kata lain, aku hanya sesuatu yang terlihat bercahaya karena ada yang lain yang lebih terang dariku. Aku kira, jika kita bertemu dalam satu garis lurus, sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi. Bumi, yang selama ini menjadi saksi keberadaan kita, akan mengatakan bahwa gerhana akan terjadi atau seburuk-buruknya matahari yang akan menabrak bulan. Tapi bagi kita, itu bukanlah sekadar fenomena astronomi. Itu adalah kutukan. Kutukan kosmos yang membolehkan kita bertemu di garis yang sama hanya pada waktu yang sudah ditentukan oleh, entah siapa namanya. Entitas yang menuliskan segala kemungkinan dan ketidakmungkinan di kanvas waktu.
Jika memang begitu, maka aku bertanya kembali pada semesta yang diam: Apakah semua pertemuan adalah kutukan? Ataukah hanya cara lain bagi takdir untuk menunjukkan bahwa beberapa cahaya memang harus tetap berjarak agar maknanya tidak hilang? Jika bulan dan matahari bisa berbicara, apakah mereka akan menerima nasib mereka dengan ikhlas, ataukah mereka juga berandai-andai tentang bagaimana rasanya berada dalam satu langit tanpa ada yang menghalangi? Mungkin, akhirnya, ini bukan lagi tentang mereka. Ini tentang aku. Aku yang bertanya-tanya, apakah aku akan terus menjadi bulan yang bercahaya dari pantulan orang lain, ataukah aku bisa menjadi matahari untuk diriku sendiri? Atau barangkali, seperti bulan yang tetap mengikuti orbitnya, aku akan terus menjalani takdir ini—menerangi orang yang tidak aku cintai, dan mencintai seseorang yang tidak akan pernah benar-benar bisa kusentuh.
Ataukah justru, dalam setiap pertemuan yang jaraknya tak kasat mata ini, aku menemukan alasan untuk terus bercahaya, walau hanya sebagai bias cahaya orang lain? Jika bulan dapat bersinar meski bukan miliknya sendiri, maka mungkinkah aku juga bisa bahagia meskipun hanya sebagai pantulan dari kebahagiaan yang bukan milikku? Ataukah dalam ketidakterjangkauan ini, aku justru menemukan kenyataan bahwa ketidakmungkinan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah cara lain untuk tetap memiliki, meskipun tanpa harus menggenggam? Mungkin, seperti matahari yang tetap hangat bagi bumi, atau bulan yang tetap bercahaya meskipun tak menyentuhnya secara langsung, aku hanya perlu menerima bahwa ada bentuk cinta yang tak harus memiliki, dan ada keberadaan yang tetap berarti meskipun tanpa kebersamaan. Jadi, pada intinya, kata-kata yang membuatku tenang pada sore ini atau setidaknya sebelum aku mandi adalah, Kadang, yang paling terang bukan yang paling dekat, tapi yang paling dirindukan dalam ketidakhadirannya.
"Tak semua yang indah harus bersama, karena beberapa hal justru lebih bermakna dalam ketidakterjangkauan."
Komentar
Posting Komentar