Musafir tanpa alamat




Pada intinya, semua ini adalah kesalahanku sendiri. Aku pikir hidup bisa dijalani dengan percaya diri dan bertanggung jawab tanpa perlu melibatkan orang lain—ternyata itu hanya satu lagi dari sekian daftar kesalahan yang baru saja kutemukan. Ego mengambil alih, seperti anak kecil yang tiba-tiba diberi kunci mobil. Ia melaju, menyalip logika, dan entah bagaimana, aku sekarang terdampar di suatu tempat yang tidak bisa disebut rumah. Aku pernah berpikir bahwa menjadi musafir dalam dunia yang penuh fatamorgana algoritma adalah pilihan yang keren. Aku membayangkan berjalan sendiri di padang pasir modern, mengandalkan diri sendiri, bertahan hidup dengan secuil eksistensi yang kupelihara seperti tanaman kaktus dalam pot kecil. Tapi ternyata, menjadi musafir bukan hanya soal berjalan sendirian—itu juga soal kehilangan rasa pulang.
Rumah. Aku mendengar kata itu terlalu sering, tapi baru sekarang aku sadar kalau aku tak pernah benar-benar mengerti apa artinya. Aku pikir rumah adalah sekadar bangunan dengan atap dan pintu yang bisa dibuka dengan kunci yang sesuai. Tapi ternyata, rumah bukan hanya tentang tembok yang berdiri kokoh, melainkan tentang keberadaan seseorang yang bersedia membiarkanmu masuk, bahkan ketika kau datang dalam keadaan paling berantakan. Rumah tetaplah rumah. Tempat di mana aku bisa bercerita tanpa takut disalahpahami, melakukan hal-hal bodoh tanpa takut dihakimi, tertawa tanpa perlu alasan, dan menangis tanpa merasa lemah. Rumah adalah ruang di mana kesalahan tidak menjadi vonis, tetapi sekadar catatan kaki dalam perjalanan. Tempat yang menerima kita apa adanya, bukan hanya saat kita berhasil, tapi juga saat kita gagal dan tersesat.
Tapi lihat aku sekarang. Aku berdiri di luar pagar, menggenggam kunci yang sudah tak lagi cocok dengan pintu mana pun. Kupikir pengetahuan, ambisi, dan kekuatan akan memberiku segalanya, termasuk jalan pulang. Kupikir dengan semakin kuat aku melangkah, semakin mudah aku menemukan rumah. Tapi ternyata, semakin erat aku menggenggam egoku, semakin aku tersesat dalam labirin yang kubangun sendiri. Aku rasa segala ambisi, kekuatan, dan pengetahuan tak pernah bisa membawaku pulang sekarang. Mereka seakan-akan menjadi pelampiasan karena aku tidak bisa pulang. Aku mencoba membangun sesuatu yang lebih besar dari rumah, mencoba menemukan rasa nyaman di tempat lain, tapi semua itu hanya ilusi.
Aku jadi ingat filosofi sederhana tentang rumah dan perjalanan. Kata mereka, rumah adalah tempat yang kau tinggalkan hanya untuk menyadari bahwa kau ingin kembali. Ironisnya, aku telah berjalan begitu jauh, hanya untuk menemukan bahwa aku tidak tahu bagaimana cara pulang. Mungkin ini harga yang harus dibayar oleh orang-orang yang terlalu percaya diri dengan peta buatannya sendiri. Kita menggambar jalan, menandai arah, yakin bahwa kita tahu segalanya—lalu mendapati diri kita tersesat di tengah persimpangan yang bahkan tidak ada dalam sketsa awal. Kita sibuk mencari rumah di tempat yang salah, menggali pondasi di tanah yang tidak bisa ditinggali, mencari kehangatan di tempat yang bahkan tidak memiliki api. Aku tidak tahu apakah aku bisa pulang sekarang. Aku bahkan tidak yakin rumah masih ada di sana, atau mungkin aku yang sudah berubah begitu banyak hingga tak lagi dikenali oleh rumah itu sendiri.
Tapi yang pasti, keegoisanku telah membawaku jauh dari rumah. Dan seperti musafir yang kehausan, aku baru menyadari betapa menyedihkannya merasa kuat di tempat yang tidak memberimu air. Mungkin ini bukan tentang menemukan jalan pulang. Mungkin ini tentang mengakui bahwa aku butuh rumah, bahwa aku butuh orang lain, bahwa aku tak bisa hidup hanya dengan modal ego dan peta kosong. Atau, setidaknya, ini tentang menyadari bahwa tidak semua pintu bisa dibuka hanya dengan kunci yang kita buat sendiri.


Komentar

Postingan Populer