After God: Setelah Tuhan Ialah Aku



After God: setelah Tuhan ialah Aku

 After God (setelah Tuhan) adalah kalimat yang mungkin asing bagi kita. Ia lahir dari pengalaman-pengalaman pribadi yang meresap dalam kesadaran, yang terkadang terlalu cepat datang sebelum sempat dirasionalkan. Aku sendiri tidak tahu apakah ada yang pernah mengungkapkan hal ini sebelumnya, dan jujur saja, aku malas mencarinya. Apa itu After God? Para filsuf mungkin telah berpikir sejauh yang bisa mereka pikirkan, sejauh bagaimana mereka mencoba merasionalisasi sesuatu yang sebenarnya tak perlu dirasionalisasi. Mereka ingin menelaah lebih dalam, tetapi dalam prosesnya, sering kali mereka justru melepaskan jati diri sebagai manusia. Mereka seakan-akan ingin melampaui segala daya yang ada dalam kosmos, ingin menghirup segala yang ada seperti kokain metafisik. Begitulah cara filsuf eksistensialis dan nihilis berambisi: berlomba mencari dan menemukan, atau setidaknya, merayakan absurditas tanpa perlu jawaban final. Dahulu, konsep After God sering dimaknai sebagai dunia baru yang tidak lagi melibatkan Tuhan. Ini menemukan tempatnya dalam zaman postmodern, di mana Derrida dan antek-anteknya bersemayam, berusaha mendekonstruksi apa yang dulu dianggap pasti. Tetapi apakah konsep After God bisa diubah pemaknaannya? Tentu saja bisa.
Bagiku, After God adalah jawaban. Kenapa? Karena ini bukan sekadar tentang dunia tanpa Tuhan, melainkan tentang bagaimana Tuhan hadir dalam bentuk yang lebih dekat, lebih tajam, lebih nyata. Pernahkah kalian mengalami momen ketika sebuah doa terjawab begitu cepat, bahkan doa yang buruk sekalipun? Seolah-olah kita memiliki firasat yang tak bisa dibelokkan. Kita fokus ke sana, kita gelisah, dan seakan-akan kita tidak punya kapasitas untuk berpikir atau mengalihkan perhatian kita dari hal itu. Aku pernah bertanya kepada Tuhan dalam refleksi pribadi: Bagaimana aku sekarang? Apakah aku sudah usai? Selang beberapa lama, aku berjalan keluar, mencari angin, membeli makanan untuk mengisi perut. Dan di saat aku berjalan itulah, konsep After God bekerja. Tuhan menampakkan diri bukan dalam bentuk wahyu, bukan dalam bisikan gaib, tapi dalam realitas yang ingin aku ketahui. Dan kehadiran-Nya tidak selalu berupa sukacita. After God bukan tentang ketiadaan Tuhan. Ini tentang bagaimana Tuhan berbicara melalui realitas yang kita alami, tanpa perlu kita mengundangnya secara eksplisit. Ini bukan hanya sekadar jawaban yang diberikan, tapi juga proses yang begitu cepat, seperti semesta sudah diatur sedemikian rupa untuk membuat kita memahami sesuatu. Mungkin ada banyak orang yang mengalami hal serupa tanpa menyadarinya. Dan bagi mereka, After God adalah pengalaman, bukan teori. Tuhan hadir setelah segala keraguan, setelah segala gelisah, setelah segala pertanyaan.
Jadi, jika ada yang bertanya, After God itu apa? Aku akan menjawab: "It’s me". Bukan karena aku menggantikan Tuhan, tetapi karena di titik itu, Tuhan seolah meminjam realitasku untuk berbicara. Bukan dalam suara guntur, bukan dalam nyala semak berduri, tapi dalam kehadiran yang lebih subtil—dalam firasat yang tak bisa dihindari, dalam momen yang seakan sudah ditulis sejak awal. Beberapa mungkin akan berkata bahwa ini hanya kebetulan, permainan kosmik yang tak ada maknanya. Tapi biarlah. Aku belum punya jawaban untuk itu, dan mungkin tidak perlu mencarinya. Yang jelas, After God bukan tentang kehilangan, melainkan tentang kesadaran baru bahwa Tuhan ada, meskipun Ia tak selalu hadir dengan cara yang kita harapkan. Dan setelah Tuhan, yang tersisa adalah Aku.

"Aku mencari Tuhan di langit, dalam doa, dalam suara yang menggelegar. Tapi ia justru menjawab lewat hal-hal spele–angin yang menerpa wajahuku, jalanan yang kutempuh, dan pernyataan yang kujawab sendiri"

Komentar

Postingan Populer