Aku Memikirkan Mengapa Aku Memikirkan Aku yang Memikirkan
Nah...
Aku duduk. Lalu aku berpikir. Tapi, entah kenapa, pikiranku tidak mau berpikir tentang apa yang seharusnya kupikirkan. Ia malah sibuk berpikir kenapa aku berpikir. Lebih aneh lagi, pikiranku berpikir tentang aku yang berpikir tentang pikiranku yang berpikir.
Apakah ini lingkaran?
Atau aku hanya butuh tidur?
Aku mulai memikirkan bahwa memikirkan itu melelahkan. Tapi berhenti berpikir juga membingungkan. Karena saat aku memutuskan untuk berhenti berpikir, aku malah berpikir tentang bagaimana caranya berhenti berpikir. Dan berpikir tentang berhenti berpikir artinya aku berpikir. Aku gagal.
Hidup ini lucu. Aku membaca suatu waktu: manusia berpikir untuk bertahan hidup. Tapi kalau aku malah berpikir tentang kenapa aku berpikir, apakah ini insting bertahan hidup, atau aku sedang bermain-main di tepi jurang eksistensial? Dan semakin kupikirkan, semakin aku lelah, tapi lelah pun kupikirkan. Aku mulai khawatir. Tapi, lucunya, aku terlalu lelah untuk khawatir dengan serius. Jadi aku hanya bisa khawatir setengah hati — dan itu membingungkan, karena aku pun khawatir kenapa aku hanya setengah khawatir. Aku menatap kipas angin. Dia berputar terus. Aku iri. Kipas angin hanya berputar. Tidak mempertanyakan kenapa dia berputar. Tidak merenung apakah angin yang dia ciptakan cukup bermakna bagi dunia. Dia hanya... muter aja. Kadang pelan, kadang cepat, kadang berhenti kalau dicabut colokannya. Sesederhana itu. Kenapa aku tidak bisa seperti kipas angin? Apakah aku terlalu manusia? Atau terlalu ribet? Aku memikirkan bahwa hidup mungkin akan jauh lebih santai jika aku tidak memikirkan aku yang memikirkan aku yang memikirkan. Tapi ya, aku memikirkan itu lagi. Lingkaran setan yang absurd. Kucing lewat. Dia duduk di bawah meja, menjilat bulunya. Aku bertanya dalam hati: apakah kucing memikirkan kenapa dia harus menjilat bulunya? Atau dia hanya merasa gatal dan selesai? Apakah kucing pernah melihat manusia yang duduk bengong sambil overthinking dan berkata, “Kasihan, terlalu banyak kata di kepalanya”? Mungkin iya. Dan mungkin mereka tidak peduli. Karena mereka kucing, dan hidup mereka lebih sederhana daripada status WhatsApp manusia. Aku mencoba menenangkan diri dengan menyeruput kopi. Tapi kopi malah memperkuat pikiranku. Aku hanya ingin tenang, tapi kopi adalah sahabat baik si pemikir — dan kadang sahabat baik adalah racun. Aku merasa dikhianati, tapi aku tetap minum. Karena manusia adalah makhluk yang tahu sesuatu akan membuatnya gelisah, tapi tetap melakukannya. Lalu aku berhenti sejenak. Aku berpikir: kenapa aku menulis ini? Apakah aku sedang memikirkan kenapa aku menulis tentang aku yang memikirkan aku yang memikirkan? Dan kalau tulisan ini selesai, lalu kamu membacanya, apakah kamu akan memikirkan kenapa aku menulis tentang aku yang memikirkan aku yang memikirkan? Kalau iya, berarti kamu memikirkan aku yang memikirkan kamu yang memikirkan aku yang memikirkan aku yang memikirkan. Selamat, kita terjebak dalam labirin absurd yang tak berujung. Aku iseng menatap tembok. Lalu memikirkan “Tembok, apa kamu pernah berpikir?”Tembok diam. Sombong sekali dia. Tapi aku sadar, kadang diam memang pilihan paling bijak. Tembok tidak perlu menjawab. Dia hanya berdiri, menopang atap dan menjadi tempat menempel jam dinding yang berdetak tanpa perasaan. Aku iri lagi. Aku mulai curiga: mungkin aku terlalu banyak berpikir karena aku punya waktu luang. Tapi aku kenal orang yang super sibuk, tetap saja overthinking. Di tengah tumpukan deadline, mereka masih sempat merenung, “Kenapa aku begini, ya?” Mungkin manusia memang makhluk aneh: saat sibuk ingin rebahan, saat rebahan malah overthinking. Jam dinding berdetak. Maju terus, tak pernah menoleh ke belakang. Apakah jam pernah menyesal dengan waktu yang sudah lewat? Ataukah jam justru makhluk paling ikhlas di rumah ini? Aku ingin berhenti berpikir. Tapi kamu tahu, semakin kita ingin berhenti, semakin datang pikiran-pikiran yang tidak diundang. Semacam tamu yang datang tanpa kabar, tidak bawa buah tangan, lalu duduk di ruang tamu dan mulai membahas masa lalu. Aku akhirnya mengambil bantal. Rebahan. Menatap langit-langit. Aku bertanya dalam hati: apakah langit-langit bosan dilihat manusia yang overthinking? Mungkin langit-langit ingin jadi lantai. Tapi dia tidak bisa memilih. Dia hanya ada, menjadi atap bagi orang-orang yang kadang terlalu serius menghadapi hidup yang pada dasarnya bercanda. Aku ingin menyimpulkan sesuatu dari semua ini. Tapi semakin aku mencoba menyimpulkan, semakin banyak pertanyaan muncul. Kesimpulan adalah awal dari keruwetan baru. Mungkin hidup adalah membiarkan pikiran datang dan pergi, seperti tukang bakso. Dia lewat, kadang kita panggil, kadang tidak. Tapi dia tidak marah. Dia tahu, suatu hari kita akan membelinya. Begitu juga dengan pikiran. Kadang datang, kadang lewat. Tidak perlu semuanya dipanggil, apalagi disimpan. Akhirnya, aku berhenti memikirkan kenapa aku memikirkan aku yang memikirkan. Aku rebahan, menutup mata, dan… tentu saja, aku mimpi. Dalam mimpi itu, aku memikirkan kenapa aku memikirkan aku yang memikirkan. Dan lucunya, aku tertawa. Karena ternyata, mimpi pun tidak bisa lepas dari lelucon bernama pikiran.
"Overthinking adalah seni berlari-lari di kepala sendiri, lalu tersandung oleh pertanyaan yang kau buat sendiri."
Komentar
Posting Komentar