Batas Rasional Manusia: Pergilah dari kepusingan, tertawalah

 

Batas Rasional Manusia:

Kita mulai dari pengakuan jujur: otak manusia itu keren, iya. Tapi juga gampang capek. Dia bisa mikir soal rumus-rumus fisika, bisa hafal harga cilok di lima tempat berbeda, bisa ngerancang misi ke Mars, bisa nulis puisi tentang mantan. Hebat, kan? Hebat. Tapi habis itu... blank. Pernah nggak kamu ngalamin? Lagi bengong, tiba-tiba mikir: “Eh, kenapa ya langit biru? Kenapa nggak ungu?” Lalu otakmu mulai muter: partikel, cahaya, atmosfer, panjang gelombang, blablabla. Terus ujung-ujungnya, kamu malah buka Instagram dan scroll reels  tren-tren joget. Itu dia: batas rasional. Otak kita cuma kuat segitu. Sisanya? Nggak kuat. Manusia itu makhluk yang sok pintar. Kita suka pura-pura ngerti hal-hal rumit. Kalau ada yang ngomong tentang "teori string" atau "dimensi ke-11", kita pura-pura angguk-angguk, padahal dalam hati: "Apa sih?" Dan yang paling lucu, kita bahkan pura-pura ngerti soal diri kita sendiri. Kita bilang: "Aku tahu apa yang aku mau." Bohong! Kadang mau makan saja galau 20 menit, ujung-ujungnya pesan mie instan. Batas rasional manusia itu nyata. Kadang kamu bisa mikir jauh banget, merasa pinter banget, lalu tiba-tiba... stuck. Mau lanjut mikir, mentok. Mau berhenti, kok sayang. Mau tanya orang, takut dibilang bodoh. Mau googling, eh malah ke-distract iklan skincare. Di sinilah muncul satu kemampuan manusia yang luar biasa: sok tahu. Ketika sudah mentok, kita tidak bilang "aku nggak tahu." Kita malah bikin teori baru. Kadang teorinya makin absurd. Tapi tidak apa-apa, manusia memang begitu. Tidak tahan dengan ketidakpastian. Kamu pernah lihat orang debat panjang tentang teori konspirasi? Dari alien, chip di vaksin, bumi datar, sampai "itu semua diatur oleh segelintir orang yang suka minum kopi sambil main catur." Rasionalitas sudah lama lewat. Yang tersisa cuma kesenangan membangun cerita. Karena otak, kalau sudah tidak mampu mikir dengan logis, akan mikir dengan... imajinasi. Tapi, eh, jangan salah. Imajinasi itu pelarian paling indah dari batas rasional. Saat akal tidak sanggup, kita mengarang. Saat logika tidak jalan, kita bikin dongeng. Mungkin itulah kenapa ada cerita naga, unicorn, dan jomblo yang katanya bahagia.
 Kadang aku mikir (lagi-lagi mikir), kenapa manusia ngotot mencari jawaban untuk semua hal? Kenapa tidak bisa santai dan bilang, "Ya udah, nggak tahu juga nggak apa-apa." Tapi rupanya susah. Karena otak kita kayak Google yang sudah kecanduan tombol “search.” Setiap ada yang tidak dimengerti, otak bisik-bisik: “Cari tahu, dong! Cari tahu!” Begitu dicari… bingung sendiri. Contoh paling gampang: cinta. Cinta adalah hal paling tidak rasional sedunia. Sudah tahu bikin sakit kepala, tetap dicari. Sudah tahu bikin galau, tetap diterobos. Kenapa? Karena batas rasional manusia adalah ketika logika bilang “Jangan,” tapi hati bilang “Gas!” Dan kamu tahu siapa yang menang? Ya... bukan otakmu. Terus, kenapa kita butuh tahu batas itu? Supaya tidak stress. Supaya tahu kapan waktunya mikir, kapan waktunya ketawa, kapan waktunya berhenti. Kadang kita mikir terlalu keras, lupa makan, lupa istirahat, sampai overthinking. Padahal, hidup itu tidak harus selalu dimengerti. Kadang cukup dijalani. Kayak naik angkot. Nggak perlu tahu kenapa supirnya muter-muter dulu. Yang penting sampai tujuan. Dan yang paling penting: batas rasional manusia adalah ruang buat keajaiban. Coba bayangin kalau kita ngerti semuanya. Bosan banget, kan? Semua sudah jelas, tidak ada misteri. Film detektif tidak seru, karena dari awal sudah tahu pelakunya. Nonton magic show tidak seru, karena semua trik sudah dibongkar. Hidup kehilangan rasa "wow."
Kadang yang bikin hidup seru justru hal-hal yang tidak kita mengerti. Kenapa suara kentut bisa bikin ketawa? Kenapa di tengah malam tiba-tiba kepingin makan es krim? Kenapa selalu ada orang yang percaya ramalan zodiak padahal hidupnya jelas-jelas berantakan? Itu semua absurd. Tapi di situ letak keindahan. Otak kita, meskipun hebat, tetap punya titik lelah. Titik di mana ia cuma bisa bilang: “Sudahlah.” Dan kalau sudah sampai di titik itu, percayalah… gorengan adalah jawabannya. Kenapa gorengan? Karena hangat, sederhana, dan tidak butuh penjelasan. Lalu, bagaimana cara tahu kamu sudah menyentuh batas rasional? Ciri-cirinya gampang:
1. Kamu mulai mikir hal-hal nggak penting terlalu serius.
2. Kamu baca satu artikel ilmiah, lalu merasa pusing, terus nonton video lucu.
3. Kamu mikir tentang makna hidup, lalu lima menit kemudian googling "resep semur ci mehong."
4. Kamu merasa semua orang salah, cuma kamu yang benar. Ini tanda bahaya. Biasanya, orang yang merasa paling rasional justru sudah lewat batas dan masuk ke dunia halu tingkat tinggi.
Dan kalau kamu sudah menyadari semua itu, santai aja. Hidup memang lucu. Kadang kita mikir keras untuk mencari jawaban, lalu jawabannya muncul saat kita lagi duduk di toilet. Kadang kita berpikir panjang tentang masa depan, lalu masa depan malah datang dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan. Jadi, di mana batas rasional manusia? Tepat di titik ketika otakmu berhenti jadi perpustakaan, lalu berubah jadi badut. Di titik ketika kamu mulai menghibur diri sendiri karena jawabannya tidak ada. Dan dari situ, ketawa aja. Karena hidup ini tidak perlu selalu masuk akal. Saran terakhir dariku: kalau otakmu mulai mumet, jangan dipaksa. Matikan ponsel, ambil cemilan, keluar rumah, dan lihat langit. Lalu ingat: kita ini manusia. Cuma manusia. Otak kita bukan superkomputer. Kita diciptakan untuk berpikir, iya, tapi juga diciptakan untuk tertawa. Dan pada akhirnya… semua hal yang tidak bisa dijawab, biarkan saja. Tidak semua pintu harus dibuka. Beberapa cukup dilihat dari jauh sambil bilang: “Oh, ya. Ada pintu.” Terus jalan lagi. Karena hidup, sesungguhnya, bukan soal memikirkan semua hal. Tapi soal menikmati hal-hal kecil. Seperti segelas kopi hangat di pagi hari… yang rasanya tidak butuh penjelasan.

"Adakalanya gorenganlah jawaban untuk kebingungan atas batasan-batasan pikiran. Kopilah satu-satunya teman guyon hangat untuk menertawakan pertanyaan yang mengambang tanpa jawaban. Tertawalah, semua akan "gila" pada masanya"

Komentar

Postingan Populer