Bergerak dalam rasa yang Radikal



Bergerak Dalam Rasa yang Radikal

Kata "mencintai" dan "dicintai" adalah kata yang sering mengganggu hidup kita. Wajar saya menuliskan dua kata itu karena saya masih kanak-kanak (hehe) anggaplah saya masih labil dalam memutuskan. Mencintai seseorang sering kita simpulkan bahwa kita harus memilikinya, tidak boleh tidak, wajib hukumnya. Status atau label dimana seseorang yang sedang berpacaran seolah-olah dapat mengukur kadar cintanya, padahal tidak sama sekali. Label "pacaran" selalu mengikat kita untuk memperjuangkan atau setidaknya agar bisa mengendalikan pasangan kita. "Aku punya kamu, kamu punya aku" begitulah kira-kira jika kita definisikan dengan bodoh dari kata "pacaran". Kita sering melontarkan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan eksistensil ketika kita sedang jatuh cinta. Hal ini seperti kutuk yang berlaku dan rasa-rasanya tidak bisa dihindarkan. Kenapa harus "pacaran"? Banyak orang akan menjawab bahwa, "aku sudah terpikat oleh dia, dia sepertinya baik, cantik, surgalah pokoknya!" Jawaban yang tak salah juga jika ada yang mengatakan seperti itu. Tapi, apakah cinta sedangkal itu untuk dipahami? Saya rasa, tidak. Cinta bukanlah serta-merta pacaran dan menikah lalu punya anak, lalu mati. Salah seorang filsuf yang bernama Jean-Luc Marion, dalam karyanya The Erotic Phenomenon, mengatakan sesuatu yang radikal tentang cinta. Dia melihat cinta bukan hanya sebagai timbal balik, bukan juga sebagai relasi kontraktual (seperti pacaran yang seringkali menuntut status), melainkan sebagai pemberian yang murni (donum). Menurut Marion, cinta yang "sejati" adalah ketika seseorang memberikan dirinya sepenuhnya kepada yang lain tanpa syarat, tanpa menuntut balasan, bahkan tanpa kepastian bahwa cinta itu akan diterima atau dibalas. Jadi, jika perlu dirangkum, cinta murni adalah sebuah gerakan keluar dari diri menuju yang lain, tanpa klaim kepemilikian. Agaknya, perkataan dari Marion perlulah kita pikirkan. Bukankah ketika kita mengamini perkataan dia, kita akan bisa sedikit meredam rasa sakit yang timbul karena cinta?. Marion agaknya menolak keras ketika cinta yang berhenti pada titik "hasrat untuk memiliki". Sebab, keinginan untuk memiliki seringkali menghancurkan keindahan cinta itu sendiri. Nah, dalam pembahasan (ocehan) kali ini, agaknya pemikiran Marion inilah yang sejak dahulu kala saya hidupi. Cinta adalah gerak radikal memberi diri, tanpa harus diikat oleh status formal. Dan saya selalu mengamini bahwa pemberian seperti itu justru menjadikan cinta yang bercap kebebasan dan bukan keterikatan. Selain pemikiran dari Marion, perlulah saya rasa, kita melihat setidaknya satu lagi pemikiran mengenai cinta dari Gabriel Marcel. Bagi dirinya, cinta adalah sebuah misteri. Kita selalu seperti itu. Menganggap bahwa cinta itu seperti misteri. Cinta tidak dapat dikalkulasi, direncanakan, atau diselesaikan dengan label status seperti "pacaran". Cinta perlulah kita anggap sebagai partisipasi dalam kehidupan orang lain, sebuah pengakuan terhadap keberadaan mereka, sebuah tindakan yang tidak berhenti pada rasa ingin memiliki, melainkan "mengizinkan yang lain untuk menjadi dirinya sepenuhnya." Ada salah satu tulisan Marcel yang mengatakan: "To say 'I love you' is to say: You shall not die." Kalimat ini bisa kita artikan, bahwa mencintai berarti mengafirmasi keberadaan orang lain, menghormati eksistensinya, dan ingin ia tetap ada tanpa syarat dan tanpa menuntut balasan. Agaknya, pemikiran dari Marcel ini juga dapat dileburkan dalam ocehan kali ini. Cinta yang tidak perlu diselesaikan dalam bentuk kepastian status; cinta adalah tindakan partisipasi yang menghormati kehadiran orang lain, tanpa harus mengikat, tanpa harus menguasai. Itu adalah rasa yang radikal: hadir, tapi tanpa memiliki. Lalu pertanyaannya, apa tanggapan saya? Cinta akan terus menjadi sebuah pergumulan hebat bagi makhluk hidup. Saya rasa, orang yang mati rasa juga bisa merasakan jatuh cinta. Cinta harus bergerak bebas, dia tidak boleh dipenjarakan oleh suatu pemerintahan yang bersifat otonom. Pembaharuan mengenai arti cinta patutlah kita tinjau. Cinta setidaknya perlu kita pahami sebagai alat bantu untuk peka dan bersikap welas asih tanpa pamrih. Cinta bukanlah alat untuk menjadikan seseorang sebagai boneka tali. Jika cinta bisa berbicara, mungkin dia akan mengatakan: "Jangan sentuh aku sembarangan! Bersihkan dulu diri kalian! Kalian tidak bisa memanfaatkan diriku dan memakai aku seenak jidat kalian. Aku bukanlah boneka, aku adalah pemberian."

"Yang paling lucu dari cinta adalah: dia hanya ingin diingat, tapi kita selalu ingin mengikat."

Komentar

Postingan Populer