Cinta yang baru



CINTA YANG BARU

(04-Maret-2025)

 Ada perenungan yang membuatku sedikit takjub dengan keberadaanku sebelum aku sadar seperti saat ini. Perenungan ini bukan semata-mata perihal cinta atau kegalauan ku dalam menjalani hidup. Perenungan ini lebih jauh membawa aku untuk berpikir bahwa tak selamanya harus ada pertanyaan untuk cinta. perenungan ini bermula ketika diriku memutuskan untuk berada di salah satu gerai kopi yang sedikit modern di depan kampus tercinta. Memesan Cappucino panas tanpa gula dan membaca salah satu buku bagus yang tidak sengaja terbawa. aku pikir tak akan ada yang menyangkut aku ketika aku membaca buku ini, ternyata aku salah. Ada beberapa yang tidak sengaja menggores kepribadianku dan perasaanku saat ini. hal ini bukan menjadi salah satu penghalang, namun hal yang aku temui inilah yang merubah segala pengetahuan ku mengenai cinta. Spinoza adalah orang yang sudah membawaku terbang jauh dengan kopi ku. Ia memaksaku untuk mengenal lebih jauh mengenai apa yang aku tanyakan selama ini, ya, benar, cinta yang ku maksud. salah satu kalimat membawaku terbang jauh, dan kalimat itu adalah, “Amor Dei Intellectualis” kalimat ini juga mempunyai contoh untuk dapat dipahami. Singkatnya, Cinta intelektual yang dimaksud mirip dengan kepuasan mental yang dirasakan oleh seorang ilmuwan apabila ia memahami suatu hukum alam secara lengkap. Ini adalah letak permasalahannya yang berada di dalam diriku (hehehe). “Akhirnya aku menemui titik terang sementara untuk diriku, yes….. (kenapa sementara? karena tak ada ujung untuk menemukan jawabannya)” responku yang gembira ketika aku sudah mengetahui segala kecacatan yang ku rasakan selama ini. Hal ini juga yang memperbarui arti untuk mencintai (jika memang ada yang mau dengan ku atau sekedar jika aku sedang mencintai).
 Begini rangkumannya, salah satu tulisan pribadiku yang berjudul “BEYOND OF LOVE” yang tidak bisa dibaca oleh siapa-siapa, kecuali kepada siapa aku mengasihnya. Pada intinya, tulisan ini ingin memperjelas mengenai cinta yang katanya abstrak, bodohnya aku, aku memaksakan agar semua sampai final. Tapi, sebodoh-bodohnya diriku, setidaknya tulisan itu adalah tulisan yang teramat jujur yang datang dariku sampai saat ini. Inti dari tulisan itu adalah “sebuah kesadaran manusia yang telah melampaui cinta yang selalu manusia anut secara umum, atau bisa dikatakan bahwa Beyond Of Love amatlah berbeda kastanya dengan seseorang yang menganut cinta dan hanya berharap bahwa cintanya ingin dibalas”. kembali kepada perkataan dari Spinoza, perkataan dari dia membawaku untuk membangun ulang segala keputusan dan argumenku tentang cinta. Aku mulai sadar, bahwa cinta yang selama ini aku jalani adalah cinta yang berdimensi pikiran dan bukan hati, Mengapa? pada dasarnya aku tidak mengetahui itu, atau lebih tepatnya aku amatlah keliru untuk memakai perasaan atau hati. Aku harap tulisan panjang ini bisa membawaku jauh untuk melampaui cinta itu sendiri seperti dia. Dan pada akhirnya pula, aku amatlah tersentuh karena ada sebongkah jawaban sementara untuk diriku. janjiku pada saat ini adalah, ya, ketika aku sedang merasakan cinta, biarlah cinta itu berjalan dengan perasaan dan didorong oleh sedikit intelektual agar seimbang. tak selalu intelektual yang perlu diandalkan dalam urusan cinta. Intelektual dapat diberi ketika beberapa momen yang mungkin diperlukan ketika sedang merasakan cinta, dan bukan selalu. kini kesadaran ini membawaku untuk mulai membuka kembali hari-hari yang harus aku jalani dengan cinta. Aku tak perlu banyak berpikir, aku harus menjalaninya dengan rasa suka, berpikirlah secukupnya, sisanya jalanilah dengan cinta.
 Perenunganku akan cinta telah sampai setidaknya tanda koma (karena ku anggap ini adalah bentuk istirahat sebelum melanjutkan perjalanan). Cinta yang harus aku anut adalah cinta yang menggunakan perasaan, cinta tidak boleh terlalu menggunakan pikiran. Dia harus berjalan bersamaan dengan diriku. aku harus mulai belajar untuk mencintai seseorang sepenuh hatiku (jika ada). Jadi, dengan segala perenunganku ini, aku mengatakan hal yang sederhana di akhir tetesan kopi yang kuminum, “maafkan aku yang dulu …. yang selalu menggunakan kepala untuk mencintai, biarlah aku perbaiki di hari esok, dimana mungkin aku akan mendapatkan cinta yang kamu rasakan sekarang,” ya, itulah prosesnya, menggantung tapi seru. biarlah aku jauh dan jatuh, setidaknya itu yang bisa ku bayar dengan perenungan dan jawabanku. Aku bersyukur sekarang, bersyukur karena aku dapat banyak mengetahui apa yang sebelumnya aku tidak ketahui. Dan pada akhirnya (bener…. ini adalah akhir) aku akan mengubah segalanya. Untuk siapapun itu, yang berada di masa mendatang, aku harap kamu dapat membaca ini dan bisa melihat harga yang harus ku bayar dari segala perenungan yang tidak akan kamu ketahui jika kamu tidak menanyakan segala hal itu kepadaku.

"Dulu kupikir cinta harus dikaji secara mendalam. Sekarang aku sadar, yang lebih penting adalah tahu kapan harus berhenti berpikir dan mulai merasakan."


Komentar

  1. bukankah mencintai harus mulai menggunakan rasio, dan bukan merasakan? itulah cinta ketika berhasil menemukan rasio dalam perasaan dan perasaan dalam rasio

    BalasHapus
  2. Bukanya ketidakdugaan selalu datang dari perasaan bukan dari rasio??

    BalasHapus
  3. ini nulis ini wktu ptus ya om

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer