Dalam senyap, aku memahami
"Tuhanlah Cinta, Hiduplah Bagi Cinta Kasih-Nya.."
Di suatu waktu yang tak lagi pagi dan belum sepenuhnya malam, aku duduk, ditemani sunyi yang tidak kupanggil, tetapi selalu tahu jalan pulang. Sunyi itu setia. Terlalu setia, hingga aku kadang bertanya: apakah ia adalah teman, atau hanya sekadar pengingat bahwa tak semua ruang harus diisi oleh suara-suara lain selain gema hatiku sendiri? Dalam kesendirian, katanya, ada kedamaian. Dalam kedamaian ada keutuhan. Dan dalam keutuhan, ada cinta. Aku ingin percaya itu. Aku ingin percaya bahwa keheningan bukanlah kekosongan, melainkan taman kecil tempat cinta tumbuh perlahan—walau tak selalu berbunga. Tetapi malam-malam panjang kerap mengundang tanya yang tidak dapat dihindari: Apakah aku sedang memilih untuk sendiri, ataukah aku hanya sedang tidak dipilih? Apakah kesendirian ini adalah bentuk tertinggi dari kemandirian, atau justru kamuflase dari ketakutan?
Aku menyaksikan burung-burung yang pergi berpasangan, bahkan gagak pun tidak sudi terbang sendirian. Sementara aku, berkali-kali mencoba meyakinkan diri bahwa berjalan sendiri adalah tanda keutuhan jiwa. Aku berkata pada diriku: tidak semua ruang harus dipenuhi. Ada kalanya kekosongan itu sendiri adalah bentuk kehadiran yang paling murni. Namun, pergulatan itu tidak sesederhana menutup pintu. Karena ketika pintu tertutup, angin dari celah-celah jendela tetap membawa pertanyaan: Jika cinta adalah anugerah, apakah aku menolaknya dengan sengaja?
Aku membayangkan seorang peziarah yang berjalan jauh, tanpa sahabat seperjalanan, membawa beban yang tak bisa dibagi, dan diam-diam berharap ada tangan lain yang menepuk bahunya di perhentian berikutnya. Tetapi tidak ada. Hanya batu, debu, dan langkah kaki yang perlahan menjadi berat oleh pemikiran-pemikiran yang tak kunjung mendapat jawaban. Kesendirian ini mulai terasa seperti cermin besar. Cermin yang menampakkan bukan hanya wajah, tetapi juga celah-celah kecil dalam niat. Apakah aku mengejar kesendirian karena sungguh ingin bebas dari hiruk-pikuk yang mengganggu batin? Ataukah karena aku takut? Takut bahwa jika kubuka pintu, aku harus menerima bahwa hidup adalah serangkaian kompromi yang tidak selalu aku kuasai. Ada yang berkata, cinta sejati adalah cinta yang tidak menuntut kepemilikan. Jika benar, maka aku sudah memilikinya: aku tidak memiliki apa-apa, dan aku tidak dituntut apa-apa. Tetapi benarkah itu cukup?
Aku berdiri di antara dua jalan. Jalan pertama menawarkan keheningan, ketenangan, dan ruang luas bagi pemikiran dan doa yang dalam. Jalan kedua menawarkan keramaian: tawa yang hangat, tangan yang menggenggam, tetapi juga air mata dan percakapan-percakapan yang tak selalu bisa diselesaikan dengan argumentasi logis. Apakah aku akan menjadi seseorang yang duduk tenang di ruang kosong, menulis kalimat-kalimat panjang yang hanya aku sendiri yang paham, lalu menutup buku dengan senyum tipis sambil berkata, "Begini lebih baik"? Ataukah aku akan menjadi seseorang yang membuka pintu, dengan segala risiko bahwa di baliknya ada dunia yang tidak selalu ramah, tetapi hidup? Dalam kesendirian, aku belajar mencintai ruang. Tetapi aku juga belajar bahwa ruang yang terlalu lama kosong perlahan menjadi dingin. Mungkin cinta hadir bukan hanya di dalam kesendirian yang murni, melainkan dalam keberanian untuk bertanya terus-menerus, tanpa pernah merasa harus segera menjawab. Malam ini, aku tidak menyelesaikan pergumulan ini. Aku hanya menuliskannya, meletakkannya di meja pikiranku, dan menatapnya seperti menatap lilin yang redup.
Aku menyaksikan burung-burung yang pergi berpasangan, bahkan gagak pun tidak sudi terbang sendirian. Sementara aku, berkali-kali mencoba meyakinkan diri bahwa berjalan sendiri adalah tanda keutuhan jiwa. Aku berkata pada diriku: tidak semua ruang harus dipenuhi. Ada kalanya kekosongan itu sendiri adalah bentuk kehadiran yang paling murni. Namun, pergulatan itu tidak sesederhana menutup pintu. Karena ketika pintu tertutup, angin dari celah-celah jendela tetap membawa pertanyaan: Jika cinta adalah anugerah, apakah aku menolaknya dengan sengaja?
Aku membayangkan seorang peziarah yang berjalan jauh, tanpa sahabat seperjalanan, membawa beban yang tak bisa dibagi, dan diam-diam berharap ada tangan lain yang menepuk bahunya di perhentian berikutnya. Tetapi tidak ada. Hanya batu, debu, dan langkah kaki yang perlahan menjadi berat oleh pemikiran-pemikiran yang tak kunjung mendapat jawaban. Kesendirian ini mulai terasa seperti cermin besar. Cermin yang menampakkan bukan hanya wajah, tetapi juga celah-celah kecil dalam niat. Apakah aku mengejar kesendirian karena sungguh ingin bebas dari hiruk-pikuk yang mengganggu batin? Ataukah karena aku takut? Takut bahwa jika kubuka pintu, aku harus menerima bahwa hidup adalah serangkaian kompromi yang tidak selalu aku kuasai. Ada yang berkata, cinta sejati adalah cinta yang tidak menuntut kepemilikan. Jika benar, maka aku sudah memilikinya: aku tidak memiliki apa-apa, dan aku tidak dituntut apa-apa. Tetapi benarkah itu cukup?
Aku berdiri di antara dua jalan. Jalan pertama menawarkan keheningan, ketenangan, dan ruang luas bagi pemikiran dan doa yang dalam. Jalan kedua menawarkan keramaian: tawa yang hangat, tangan yang menggenggam, tetapi juga air mata dan percakapan-percakapan yang tak selalu bisa diselesaikan dengan argumentasi logis. Apakah aku akan menjadi seseorang yang duduk tenang di ruang kosong, menulis kalimat-kalimat panjang yang hanya aku sendiri yang paham, lalu menutup buku dengan senyum tipis sambil berkata, "Begini lebih baik"? Ataukah aku akan menjadi seseorang yang membuka pintu, dengan segala risiko bahwa di baliknya ada dunia yang tidak selalu ramah, tetapi hidup? Dalam kesendirian, aku belajar mencintai ruang. Tetapi aku juga belajar bahwa ruang yang terlalu lama kosong perlahan menjadi dingin. Mungkin cinta hadir bukan hanya di dalam kesendirian yang murni, melainkan dalam keberanian untuk bertanya terus-menerus, tanpa pernah merasa harus segera menjawab. Malam ini, aku tidak menyelesaikan pergumulan ini. Aku hanya menuliskannya, meletakkannya di meja pikiranku, dan menatapnya seperti menatap lilin yang redup.
"Tuhanlah Cinta.."
Besok pagi, mungkin aku akan tetap sendiri. Mungkin aku akan tetap memilih diam, membaca buku, memikirkan hal-hal besar yang tidak akan pernah selesai. Tetapi mungkin juga, aku akan membuka jendela sedikit lebih lebar, membiarkan angin membawa kabar bahwa tidak semua yang sendiri itu kehilangan. Ada pula yang memilih sendiri karena di sanalah ia menemukan bentuk cinta yang lain: cinta pada keterbatasan, cinta pada pertanyaan, dan cinta pada ketidakpastian yang tidak menuntut akhir. Dan jika pada akhirnya aku memilih jalan kesendirian yang panjang itu, biarlah bukan karena aku takut, melainkan karena aku tahu, bahwa di dalam kesendirian pun, cinta tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berubah bentuk—menjadi keheningan yang mengasyikkan, menjadi percakapan batin yang jujur, dan menjadi kesetiaan pada panggilan yang barangkali tak semua orang mengerti. Karena, siapa tahu… di antara banyak jalan yang bising, ada satu lorong sunyi tempat cinta menunggu, bukan untuk diraih, tetapi untuk diterima—tanpa suara, tanpa pelukan, hanya dengan tenang: ia ada.Aku tahu, jalan ini tidak populer. Tidak banyak yang memahaminya. Orang akan bertanya-tanya, mengira ada luka yang belum sembuh, atau trauma yang belum selesai. Padahal, barangkali yang terjadi justru sebaliknya: aku mulai memahami bahwa ada panggilan yang tidak bisa ditawar, dan ada keutuhan yang hanya bisa diraih dengan melepaskan. Kesendirian, dalam terang itu, bukanlah kesepian. Ia adalah sebuah ruang kontemplasi, di mana aku tidak lagi bertanya "apa yang kurang?" tetapi mulai belajar bertanya "apa yang harus dipersembahkan?" Di tengah dunia yang gemar menghitung pasangan, menulis cerita tentang dua yang menjadi satu, aku justru bertanya: bukankah kadang satu lebih jujur daripada dua yang dipaksakan? Bukankah kadang kesendirian justru melatih pendengaran untuk mendengar suara yang pelan, yang mudah hilang di tengah kebisingan dunia? Aku tidak tahu ke mana perjalanan ini akan berujung. Tetapi aku mulai mengerti: ada cinta yang hanya dapat ditemukan dalam kesediaan untuk menahan diri. Cinta yang tidak menuntut hadir dalam bentuk pelukan atau kata-kata manis, tetapi hadir sebagai kesetiaan yang hening—kesetiaan pada panggilan yang tidak selalu dimengerti orang lain.
Barangkali, inilah bentuk lain dari kasih: ketika aku memilih untuk menjadi ruang kosong tempat orang lain bisa berteduh dalam doa, bukan dalam pelukan. Menjadi wajah yang tenang, bukan karena tidak bergumul, tetapi karena telah berdamai dengan ketidakpastian. Dan jika suatu hari aku berjalan terus di jalan ini tanpa seorang pun menggandeng tanganku, biarlah itu bukan karena aku menutup pintu, melainkan karena aku telah membuka jendela: membiarkan angin membawa pesan bahwa aku ada di sini—tidak sendiri, tetapi bersama kesunyian yang telah kupeluk sebagai bagian dari panggilan. Dalam kesendirian ada cinta. Cinta yang tidak ramai. Cinta yang tidak dipamerkan. Cinta yang setia hadir dalam kesunyian, mengingatkan bahwa tidak semua yang tidak terlihat itu tidak nyata. Sebab yang paling dalam, yang paling luhur, justru kerap lahir dari keheningan yang dipelihara dengan gentar dan syukur. Aku tidak tahu, apakah akhirnya aku akan tetap berjalan sendiri, ataukah suatu hari ada tangan lain yang menggenggam. Tapi aku tahu, sebelum semua itu, aku harus terlebih dahulu belajar menggenggam tangan-Nya yang tak kelihatan–dan belajar bahwa mungkin... hanya itu yang benar-benar cukup.
"Janganlah Takut..."
Komentar
Posting Komentar