Kuliah Gratis dari Penjual Roti
Kuliah Gratis dari Penjual Roti
Ada waktu luang sedikit sebelum jam tidur menghampiri, jadi sedikit hamba membenturkan segala kejadian yang hamba ingat. Agaknya, kejadian itu bisa membawa hamba jauh pergi melampaui dimensi eksistensi. Hamba pikir, tadinya tak perlu hamba membuat sebuah tulisan. Cukup simpan dalam hati, dan semua selesai. Tapi pikiran berkehendak lain. "Tulislah cepat! Aku juga mempunyai nafsu! Walau tulisanmu itu tidak jelas, tak apa. Toh memang seperti itu adanya," perkataan pikiran kepada heningku.
Muasalnya dari sesosok mahasiswi yang rajin pergi ke kampus. Sering hamba lihat, pagi-pagi sekali mahasiswi itu sudah berada di kampus, membawa keranjang berisi roti dengan senyuman di pagi hari. Sudah lama kejadiannya, dan selalu berulang-ulang hamba melihat dirinya seperti itu. Hamba pikir, mahasiswi itu membawa sekeranjang roti untuk sekadar mencari dana bagi organisasi yang dia ikuti. Tapi ternyata, salah. (Begitulah hamba, menelaah tanpa melihat perspektif yang lain). Sempat hamba ingin membeli roti itu dua bulan yang lalu, namun waktu berkata lain. Waktu tak pernah sampai ke depan hamba untuk sekadar memberi roti. Ia sibuk dengan kesenang-senangan dan kesukacitaan. Namun, alangkah indahnya sewaktu badai menari di atas kota Jogja. Hamba terjebak bersama teman-teman di kampus—mengobrol, bercanda, membaca buku, dan melakukan kegiatan lainnya. Waktu akhirnya mempersilakan hamba untuk bertemu dengan mahasiswi penjual roti itu. "Kak, mau beli roti?" Dia datang menghampiri kami yang sedang mengobrol. "Boleh. Teman-teman, ada yang mau? Ambillah," perkataanku kepada teman-temanku agar semua membeli. (Dan sialnya, aku ternyata yang terjebak hingga harus membayar semuanya).
Singkat cerita, roti itu habis. Dia tersenyum, dan bisa terlihat bahwa sukacita datang kepadanya. Di sela itu, salah seorang temanku bertanya, "Ini kamu jual untuk usaha dana apa?" Nah, itu yang ingin kutanyai sedari lama, jawabku dalam hati. "Enggak kok, Kak. Aku enggak usaha dana. Memang pure untuk diriku sendiri," jawabnya dengan senyum. "Cilaka... buat dosa besar lagi diriku..." Perkataan dalam hatiku membuat aku kaget. Hamba merasa bahwa perkataannya sungguh tulus. Berjualan demi makan—mungkin akan seperti itu bunyinya jika dibuat kasaran dalam konsonan kata yang jelas dan padat. Tapi bukan itu permasalahannya. Perjuangannya itulah yang menjadi nilai untuk tetap hidup. Hamba kira, hujan pun akan setuju dengan hamba sewaktu itu. Sungguh tragis diri hamba jika diperhadapkan oleh orang seperti dia. Hamba sangat mendalami tentang perjuangan, keberanian, pengorbanan, dan percaya diri—melalui teori-teori. Tapi hamba kalah dengan dia yang mencontohkan langsung kepada hamba tentang arti dari segala teori yang hamba pelajari.
Singkatnya, pada realitas itu, ia seolah-olah berbicara:"Ah, kamu cuma tahu segala kata dalam kertas. Siapa peduli dengan itu? Aku yang bergerak mewujudkan segala apa yang kamu baca. Aku dosenmu dalam realitas ini!" Sedikit menusuk, namun tak apa. Aku pikir, segala pengetahuanku akan diperhadapkan oleh seseorang yang lebih mahir dalam mengemudikan kisah hidupnya. Tidak seperti hamba, yang mengetahui namun tak menjalani. Mungkin, pada akhirnya, hamba akan berbicara bahwa guru tertinggi dalam melakoni perannya di dunia bukanlah profesor atau doktor. Tapi bisa saja mereka—tukang becak, gojek, tukang nasi goreng, tukang kopi, tukang ketoprak, dan lainnya yang mungkin tak mempunyai gelar—yang lebih mahir serta memberikan pembelajaran lebih, yang mungkin kampus tak pernah ajarkan. Dan pada akhirnya pula, tercetuslah sebuah kalimat yang mewakilkan kondisiku pada saat itu : "Teori membuatku merasa pintar, realitas membuatku merasa bodoh. Mungkin karena di kampus, gagal itu cukup revisi. Di hidup, gagal itu nggak makan."
"Kampus mengajariku definisi perjuangan, tapi penjual roti mengajariku cara bertahan hidup. Sayangnya, ijazah hanya bisa kudapat dari yang pertama."
Komentar
Posting Komentar