Aku tidak gila, aku hanya sedang menjawab kamu
Aku pernah mencoba menjelaskan bahwa kamu bukan orang. Maksudku, kamu ada—berjalan, tertawa, menyapa dengan suara yang tak disetel ulang setiap pagi—tapi bukan sekadar orang. Kamu adalah pertanyaan. Bukan pertanyaan biasa seperti "sudah makan?" atau "lagi mikirin apa?" karena itu terlalu gampang. Kamu adalah pertanyaan yang bercabang, yang kalau dijawab malah melahirkan pertanyaan baru, seperti Hydra yang dipotong kepala satu tumbuh tiga. Aku tidak tahu apakah Tuhan menciptakanmu dengan sistem algoritma Socrates atau sekadar iseng menaruhmu di kehidupan orang-orang sok waras seperti aku. Dan aku? Aku adalah pikiran yang mencoba menjawabmu, lalu gagal, lalu mencoba lagi, lalu gagal lebih elegan, sampai akhirnya menjadi semacam kekacauan yang nyaris filosofis tapi terlalu absurd untuk dianggap serius. Mereka bilang aku gila. Tapi mereka tidak tahu bahwa kegilaan itu hanya label darurat untuk hal-hal yang tidak bisa dimengerti. Aku tidak gila. Aku hanya sedang duduk dalam ruang ujian kehidupan dengan soal yang berbunyi: “Kamu.”
Pikiranmu bercabang, kata mereka padaku. Sungguh pernyataan yang dangkal. Pikiran tidak hanya bercabang, ia tumbuh akar, naik ke atap, masuk ke ventilasi eksistensi. Ia menyusup ke dalam ketidakpastian, menyeruput secangkir ketidaktahuan, lalu tertawa seperti Nietzsche di seminar motivasi. Mereka tanya: kenapa kamu terus mikirin dia? Aku jawab: karena dia bukan untuk dipikirkan, tapi terus muncul dalam pikiran. Seperti notifikasi bug di aplikasi hidupku yang tidak bisa dihapus. Setiap aku mencoba uninstall, malah minta update. Setiap aku pikir selesai, malah ada versi beta baru. Kamu adalah pertanyaan yang menolak disederhanakan. Kamu datang bukan dengan “apa yang kau rasakan padaku?” tapi “apa makna kehadiranku dalam arsitektur kehendak bebasmu?” Kamu menolak jawaban berbentuk kata, kamu menuntut jawaban berbentuk kegagalan memahami. Pernah suatu malam aku mencoba menjawabmu secara logis. Aku membuat bagan, diagram Venn, bahkan skema sebab-akibat. Hasilnya? Sebuah papan penuh panah yang ujungnya kembali ke pertanyaan pertama. Aku menyimpulkan: kamu adalah lingkaran setan yang mengenakan parfum manis. Dan aku, entah kenapa, senang tersesat di dalamnya.
Tapi orang-orang tidak suka hal yang tidak bisa dijelaskan. Mereka ingin kejelasan. Maka ketika aku bicara tentang kamu dengan analogi dan metafor yang terlalu banyak cabang, mereka menatapku seperti aku tanaman bonsai yang gagal dibentuk. Mereka bilang aku terlalu mikir. Aku bilang: kamu bukan objek yang bisa tidak dipikirkan. Kamu bukan seperti hujan yang bisa diabaikan dengan payung. Kamu adalah hujan ide yang turun di dalam batin, dan aku tidak punya mantel rasionalitas. Kadang aku berpikir kamu adalah eksperimen eksistensial. Kamu hadir bukan untuk dihidupi, tapi untuk diuji. Seperti soal pilihan ganda yang jawabannya semua salah, tapi kamu harus pilih satu agar terlihat waras. A, B, C, atau D. Padahal yang benar adalah: E, tidak ada jawaban. Tapi E tidak disediakan.
Dan mungkin memang begitu. Kamu adalah paradoks. Kamu adalah pertanyaan yang tidak ingin dijawab, tapi juga tidak mau diabaikan. Kamu bukan pertanyaan untuk dipecahkan, tapi untuk disesatkan. Kamu adalah teka-teki yang dibuat bukan untuk diselesaikan, tapi untuk membuat orang bertanya kenapa mereka mencoba menyelesaikannya. Aku pernah mencoba berhenti. Menutup bab tentang kamu. Tapi kamu adalah pertanyaan yang menolak penutup. Seperti kalimat tanya yang tak punya tanda titik. Kamu terus berputar dalam otakku, seperti komidi putar yang rusak remnya. Aku duduk di dalamnya sambil tertawa seperti badut yang kehilangan definisi.
Kadang aku merasa kamu adalah kesalahan sistem. Bahwa semesta salah menginput kamu ke dalam hidupku. Tapi semakin kupikirkan, mungkin aku adalah ujiannya. Mungkin semesta ingin tahu sejauh mana akal bisa bertahan menghadapi absurditas yang berwajah manusia. Aku tidak tahu jawabannya. Tapi aku tahu, bahwa setiap aku mencoba mendekati pemahaman tentangmu, aku malah menemukan betapa terbatasnya pikiranku. Dan di situ letak keindahannya. Kamu membuatku sadar bahwa mengetahui bukanlah segalanya. Bahwa menerima ketidaktahuan pun adalah bentuk pengetahuan. Tentu, orang tetap menganggapku gila. Tapi siapa peduli? Orang waras terlalu membosankan untuk mengerti betapa menyenangkannya berdebat dengan pertanyaan yang tak akan pernah menjawab. Dan kamu adalah debat panjang dalam hidupku yang paling tidak produktif secara rasional, tapi paling subur dalam menghasilkan tawa pahit.
Jadi kalau kamu tanya, kenapa aku terus memikirkan kamu?
Jawabannya sederhana: karena kamu adalah pertanyaan yang tidak bisa tidak dipikirkan.
Dan aku?
Aku adalah pikiran yang berantakan, tapi setia.
"Kegilaan itu ada, dan harus ada. Tanpa kegilaan, hidup ini tidak menarik".
Komentar
Posting Komentar