Kau Mau Kado Apa?


Kau mau kado apa?


Malam ini, ditutup dengan pertanyaan yang mendalam dan tajam oleh seorang teman. Berlatar belakang di penjual sate di pinggir jalan, kami menghabiskan malam untuk bercerita dan tertawa bersama. Di tengah ketertawaan kami melihat dunia yang absurd ini. Ada sebongkah pertanyaan eksistensial yang ditanyakan oleh temanku:
"Pan, kalau kau ulang tahun, kau biasanya minta apa?" ujarnya yang merasa tidak bersalah.
"Gak minta apa-apa. Gak pernah juga berharap dikasih kado," jawabku yang belum menyadari sesuatu.
"Apa yang kau suka semisalnya kau ditanya sama orang?" pertanyaannya kembali.
Sambil memikirkan hal-hal yang aneh, aku menarik kesimpulan, "Gak ada."
"Buku?" ujarnya, mencoba menebak dan berharap jawaban 'iya' dariku.
"Enggak ah, buku bisa beli sendiri aku," jawabku kembali.
"Terus, apa? Gini deh, kau pernah merasa gak waktu kau ulang tahun, kado yang kau dapat itu istimewa banget?" tanyanya lagi.
"Enggak. Aku anggap kado istimewa itu bukan dari harganya, tapi dari orangnya," jawabku kembali.
"Lah terus apa dong?" Tanyanya sambil sedikit kesal, mungkin karena merasa aku terlalu menghindar.
"Aku pun jadi mikirin ini. Apa yang aku mau?" jawabku, kali ini sambil menatap langit yang tidak pernah benar-benar menjawab.
Obrolan ini memang terlihat sepele dan tidak berbobot. Hanya dua orang yang berbincang mengenai kado ulang tahun. Tapi, ada yang janggal ketika aku menelanjangi diriku sendiri di hadapan pertanyaan tajam itu. Aku seperti orang yang tidak kenal diriku sendiri. Pertanyaan itu tidak sedang bicara tentang barang. Ia sedang bicara tentang diriku. Tentang apa yang aku inginkan. Tentang siapa aku sebenarnya di balik semua ilusi intelektual, kesibukan kuliah, buku-buku filsafat, pelayanan, dan pengetahuan yang katanya penting itu. Tentang aku, yang telanjang tanpa jawaban.
Dan aku sadar—sialnya—aku gak tahu. Aku tahu banyak soal orang lain. Aku bisa mengerti ide Platon, eksistensialisme Sartre, bahkan menafsir perkataan "Tuhan sudah mati" dari Nietzsche. Tapi ditanya hal sederhana: kau ingin apa saat ulang tahun?—aku diam. Sialnya lagi, aku merasa wajar. Merasa tidak perlu tahu. Karena aku hidup terlalu lama dengan meyakinkan diri bahwa aku cukup tanpa harus menginginkan apa-apa. Bahwa aku kuat karena tak butuh hadiah, bahwa aku bijak karena bisa hidup tanpa meminta. Padahal, itu semua bisa jadi cuma kedok. Sebuah kompensasi dari keterasingan. Dan lebih dari itu, mungkin karena aku tidak pernah diajari untuk merawat keinginan pribadi. Aku tumbuh di tengah sistem yang menganggap pengakuan keinginan sebagai kelemahan. Keinginan adalah sesuatu yang memalukan. Sesuatu yang terlalu duniawi, terlalu kekanak-kanakan, terlalu egois. Maka aku belajar membunuh keinginan-keinginan kecil itu, satu demi satu, supaya aku tampak dewasa, rasional, dan kuat.
Tapi malam ini, aku berpikir ulang. Aku berpikir keras karena tidak bisa menjawab pertanyaan mendasar yang amatlah besar jika direnungkan. Dan bukan karena aku bodoh. Tapi karena aku terlalu lama absen dari diriku sendiri. Terlalu sibuk mencari tahu dunia luar, sampai lupa menjelajahi bagian terdalam dari tubuh dan batinku sendiri. Seolah-olah membaca ratusan buku bisa menggantikan keberanian untuk menatap diri sendiri dan bertanya dengan jujur: kau ini maunya apa, sebenarnya?
Aku pun bertanya kembali kepada temanku, “Kado itu harus bersifat benda atau boleh yang lain?”
Lalu jawab temanku, “Untuk konteks sekarang, ya. Kado harus bersifat benda.” 
Dan bodohnya, aku kembali bengong. Bisa saja aku jawab: mobil Rolls-Royce, rumah besar, iPhone 15 Pro Max. Tapi semua itu menjijikan dan memang bukan kemauanku. Itu hanya pengalihan. Karena sialnya lagi, bahkan kalau semua itu diberikan sekarang, aku tetap merasa hampa. Karena bukan kadonya yang masalah, tapi aku yang tidak tahu keinginanku sendiri. Apa yang membuatku bahagia? Apa yang bisa membuatku tersenyum seperti anak kecil waktu menerima hadiah mainan? Apa yang membuat jantungku berdegup pelan, tanpa beban eksistensial? Aku gak tahu. Dan itu bukan cuma masalah psikologis. Ini bukan tentang aku yang terlalu banyak berpikir atau terlalu sedikit bersyukur. Ini tentang kehilangan orientasi dasar sebagai manusia. Karena manusia tanpa keinginan bukan manusia yang tercerahkan, tapi manusia yang sedang terasing. Terasing dari dirinya sendiri. Aku merasa tinggal di tubuh orang lain. Aku bicara, berjalan, tertawa, tapi bukan sebagai aku. Aku sekadar menjalankan naskah. Menyelesaikan tugas. Membaca buku. Memberi nasihat. Menjalani peran. Tapi aku bahkan gak tahu siapa penulis naskah ini. Atau mungkin aku yang menulisnya, tapi dengan tangan yang gemetar dan pikiran yang kosong. Dan malam itu, di tengah asap sate dan suara bising kendaraan, aku mulai sadar bahwa aku harus lebih peduli pada diriku sendiri. Bukan untuk menjadi egois. Tapi untuk jujur. Karena kejujuran pada diri sendiri itu hal paling langka di dunia ini. Orang bisa jujur pada gereja, pada negara, pada pacar, pada dosen, tapi berbohong setiap hari pada dirinya sendiri.
Dan mungkin aku salah satu dari mereka. Obrolan itu selesai tanpa jawaban. Tapi pertanyaannya tetap tinggal. Mengendap dalam daging dan tulangku. Dan itu cukup. Karena untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku benar-benar merasa hidup—meski tanpa tahu apa yang aku inginkan. Tapi aku tahu bahwa aku harus mencari. Dan kali ini, bukan demi siapa-siapa. Tapi demi aku yang terlupakan.
Beginilah nasibku sebagai manusia modern: terlalu pintar untuk jujur, terlalu sibuk untuk sadar, dan terlalu filosofis untuk menjawab pertanyaan sederhana seperti “kau mau kado apa?”. Ironis, memang. Di tengah arus informasi yang deras dan rak buku yang penuh dengan omong kosong eksistensialisme, aku justru kehilangan peta menuju diriku sendiri. Aku bisa berdebat soal metafisika, tapi tak bisa memilih warna bungkus kado yang kusukai. Lucu ya? Tapi juga menyedihkan. Masalahnya bukan pada kadonya. Masalahnya ada pada kebiasaanku membunuh keinginan dengan dalih kebijaksanaan. Aku dijajah oleh ide bahwa menginginkan sesuatu adalah dosa kapitalis atau tanda ketidakdewasaan. Maka aku belajar bertahan hidup dengan menjadi robot spiritual—berpikir suci, hidup minimalis, dan berharap surga karena katanya "cukup itu bahagia". Padahal aku tidak cukup-cukup juga, cuma pandai menutupi rasa kosong dengan senyum dan kutipan dari Kierkegaard. Aku terlalu takut untuk bilang, “Aku ingin sesuatu.” Karena menginginkan itu berarti mengakui kekurangan. Dan kekurangan itu memalukan. Jadi aku memilih diam, pura-pura kuat, pura-pura tidak butuh, sambil terus mengonsumsi dopamine dari validasi sosial dan likes di media sosial. Aku bilang aku baik-baik saja, padahal dalam hati bertanya: “Kalau aku hilang, siapa yang akan mencari aku?”
Dan sialnya, aku bahkan tidak tahu siapa "aku" itu. Malam di penjual sate bukan cuma tempat membahas kado. Itu adalah altar kecil tempat aku menyadari: aku ini alien di tubuh sendiri. Aku hidup dalam kepala orang tua, guru, dosen, pendeta, bahkan Tuhan, tapi bukan dalam kepalaku sendiri. Aku bisa menjelaskan tentang hal-hal rumit, tapi tidak bisa menjelaskan kenapa aku suka warna ungu, putih, dan hitam. Jadi, kesimpulannya? Aku hari ini lebih takut ditanya "kau ingin apa?" ketimbang "apa tujuan hidupmu?". Karena pertanyaan pertama menelanjangi jiwa, sementara yang kedua bisa kujawab dengan kutipan Instagram. Dan di sinilah tragedinya: aku tidak kekurangan jawaban, aku kekurangan kejujuran.

"Terkadang hal paling menyakitkan adalah ketika kita tidak mengetahui apa yang kita mau"



Komentar

  1. aku juga 46hri lgi ulgthn, mau kado apa yaa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer