Manusia Itu tangguh, sampai meledak!




Manusia Itu Tangguh, Sampai Meledak

Mari kita akui saja satu hal yang paling jujur dari hidup manusia: kita adalah makhluk yang jago sekali pura-pura bahagia. Kita mahir sekali tertawa di tengah kerapuhan, menyelipkan senyum dalam lubang kubur batin sendiri, dan bertepuk tangan pada diri sendiri yang sudah sejak tadi ingin menyerah tapi tak kunjung mati juga. Entah itu keajaiban atau kutukan, yang jelas, kita terus berjalan. Dengan kesedihan di punggung, dengan luka yang dijadikan tas selempang, dan air mata yang disulap jadi eyeliner biar kelihatan berkilau saat ditinggal.
Orang bilang manusia itu makhluk rasional. Tapi aku curiga, kita cuma makhluk yang terlalu banyak mikir hal yang bikin sedih, lalu menyebut itu "rasionalitas" supaya terdengar intelek. Padahal kadang cuma overthinking kelas berat yang dibungkus dengan kutipan filsuf macam Kierkegaard atau Camus, agar kita merasa penderitaan kita lebih artistik daripada orang lain. Kita berjalan, katanya, menuju masa depan yang cerah. Tapi sepanjang jalan, kita mampir dulu ke trauma masa kecil, gagal move on, ditolak beasiswa, dimarahi bos, dan patah hati berjamaah. Bahkan kadang kita rindu pada kesedihan, seperti orang tua yang merindukan anaknya yang sudah menikah. Lho, kok bisa? Ya bisa saja. Karena kesedihan itu familiar. Ia seperti teman serumah yang tidak diundang, tapi sudah tahu di mana letak sendok garpu. Kesedihan bukan tamu. Ia penghuni tetap. Kita ajak dia tidur, makan, kerja, bahkan ibadah. Kadang kita berdoa sambil menangis bukan karena kita rohani, tapi karena kita sudah capek dan bingung mau cerita ke siapa lagi. Kesedihan lebih setia daripada pasangan. Saat semua orang pergi, ia tetap tinggal, menepuk-nepuk bahu kita dan berkata, “Tenang, aku di sini.”
Cobalah kau perhatikan. Media sosial kita dipenuhi kalimat penyemangat. “Kamu kuat!” “Hari ini akan indah!” “Kamu pantas bahagia!” Tapi coba buka komentar orang-orang. “Iya, tapi aku capek.” “Pengen tidur selamanya.” “Lucu sih, tapi kok gue sedih ya?” Kita ini makhluk yang saban pagi menempelkan kutipan motivasi ke dinding mental, lalu malamnya merobeknya diam-diam dan berkata, “Omong kosong semua ini.” Lalu datanglah para penjual kebahagiaan. Influencer yang berkata bahwa hidup bisa bahagia kalau kamu ikut seminar 3 juta rupiah. Atau motivator spiritual yang bilang bahwa kesedihan adalah tanda kamu jauh dari Tuhan, padahal bisa saja kamu dekat, tapi ya Tuhan pun tahu kamu memang sedang sedih. Bahkan sangat sedih.
Lihatlah dunia kita. Dari pagi kita dijejali iklan tentang kebahagiaan: sabun yang membuatmu wangi dan disukai banyak orang, kopi yang membuatmu tampak seperti eksekutif muda, skincare yang menjanjikan kulit cerah walau hidupmu tetap suram. Kita membeli semua itu bukan karena kita percaya, tapi karena kita berharap: semoga saja sedih ini bisa dilapisi aroma vanilla. Kita hidup di zaman di mana kesedihan harus dikemas. Ia tak boleh muncul telanjang. Harus ada filter. Harus ada backsound lagu mellow. Harus terlihat estetik. Kita menyebutnya "healing", padahal kadang cuma duduk di kafe mahal sambil overthinking, memandangi langit dan berharap ada alien yang turun dan menculik kita karena bumi sudah terlalu melelahkan.
Seseorang pernah berkata bahwa manusia adalah makhluk yang berjalan dengan beban. Aku koreksi sedikit: manusia adalah makhluk yang berjalan dengan kesedihan, tapi pura-pura sedang olahraga ringan. Kita menepuk pundak sendiri dan berkata, “Kamu baik-baik saja,” padahal kita bahkan tidak yakin siapa kita hari ini. Mengapa kita terus berjalan? Karena berhenti lebih menakutkan. Karena diam berarti kita harus menghadapi kesedihan itu langsung, tanpa musik pengiring, tanpa scroll TikTok, tanpa distraksi. Maka kita bergerak, entah ke mana. Yang penting bukan di tempat yang sama. Yang penting jangan terlalu sunyi.
Kita ini spesies yang kalau ditanya, “Apa kabar?” otomatis menjawab “Baik,” padahal baru saja menangis di kamar mandi. Kita punya budaya sembunyi yang canggih. Kita pakai topeng. Kadang topengnya lucu, kadang religius, kadang profesional. Tapi hampir semua punya lubang kecil tempat air mata bisa mengalir diam-diam. Ada yang berkata, "Sedih itu manusiawi." Tapi aku bilang: sedih itu identitas. Ia bukan cuma bagian dari manusia, tapi sering kali menjadi fondasi hidupnya. Kita membangun mimpi dari reruntuhan, menulis puisi dari luka, mencipta lagu dari kehilangan. Bahkan sebagian dari kita merasa aneh kalau hidup terlalu tenang. Seperti ada yang kurang. Seperti sedih itu rumah, dan tenang itu cuma tempat singgah. Maka jangan heran jika kadang kita menolak nasihat-nasihat positif. Bukan karena kita tak mau bahagia, tapi karena kita tahu: hidup ini memang tidak selalu indah, dan itu tak apa. Kita tak perlu terus-terusan sembuh. Kadang kita hanya perlu ditemani dalam luka. Kadang kita hanya ingin diakui bahwa berjalan sambil sedih adalah sah.
Akhir kata, kita ini bukan makhluk yang berjalan menuju bahagia, tapi makhluk yang terus berjalan bersama kesedihan, sambil belajar bagaimana cara tidak kehilangan arah. Kita bukan superman. Kita cuma manusia yang tahu rasanya sendirian di keramaian, yang tahu rasanya tertawa tapi hampa, dan tetap memilih bangun setiap pagi meski dunia tak berubah. Dan barangkali itulah keindahan sejati manusia: bukan karena ia tak sedih, tapi karena ia tetap berjalan meski sedih. Meski tertatih. Meski kadang ingin rebahan selamanya. Kita adalah makhluk yang tidak hanya hidup, tapi menghidupi luka-luka itu agar bisa berkata pada orang lain, “Tenang, kamu tidak sendiri.” Karena jika hidup ini adalah panggung sandiwara, maka kita semua adalah aktor utama dalam drama panjang berjudul: “Sedih, Tapi Jalan."

"Pura-pura baik-baik saja adalah skill wajib dalam kurikurum kehidupan."

Komentar

Postingan Populer