Paskah dan Kebingungan



Paskah dan Kebingungannya.

Kami tidak pakai spanduk. Tidak ada baliho dengan wajah-wajah penuh cahaya buatan. Kami hanya membawa gitar yang kadang nadanya nyasar, kerinduan yang tulus, dan stamina yang digerakkan oleh kopi sachet. Kami datang ke jemaat-jemaat kecil, bertukar cerita, saling canda, dan tertawa dalam pelayanan. Di sanalah, dalam kelelahan dan kehangatan, lahirlah sebuah kesimpulan yang tidak kami cari, tapi mendadak terasa penting: “Kami serius jika soal bermain.” Itu bukan candaan kosong. Itu adalah kesadaran yang lahir dari tubuh-tubuh yang pegal dan hati-hati yang justru ringan. Kami datang bukan sebagai tim profesional. Kami bukan rombongan berseragam. Kami datang sebagai manusia. Dan manusia, sejujurnya, bisa merasakan Paskah paling dalam ketika ia tidak sibuk tampil, tapi sibuk hidup. Filsuf Yunani, Herakleitos, pernah bilang bahwa satu-satunya yang tetap adalah perubahan. Tapi tampaknya, yang juga tetap dari zaman ke zaman adalah manusia yang lupa bahwa kehidupan bukan soal pertunjukan. Kami datang ke tempat yang jauh dari sorot, tetapi dekat dengan kenyataan. Di jemaat-jemaat kecil itu, kami menemukan kembali makna Paskah—bukan lewat teks panjang atau nyanyian megah, melainkan lewat pelukan, senyuman, dan nasi yang dimasak dengan penuh kasih.
Kami duduk bareng, makan bareng, tidur kadang di lantai, kadang di kursi panjang. Kami tertawa soal nyamuk, soal suara sound system yang mendadak ngambek, soal lupa lirik, dan soal celana yang nyangkut di pagar. Kami bermain. Tapi bukan berarti kami tidak serius. Justru di sanalah letak keseriusannya—kami membiarkan kehidupan hadir apa adanya. Ada semacam kebahagiaan yang tidak bisa dibeli: ketika kamu menyadari bahwa kebangkitan Kristus tidak butuh panggung. Ia hanya butuh ruang untuk diterima. Dan ruang itu tidak harus dalam bentuk aula atau tenda. Kadang ia muncul di beranda rumah, di bawah pohon, di tengah warung kopi, atau bahkan dalam tawa yang tidak bisa dijelaskan kenapa muncul. Paskah bukan tentang siapa paling siap. Paskah adalah tentang siapa yang tetap percaya meski hari-hari sebelumnya penuh luka. Dan kami melihat itu di wajah mereka—para ibu yang tetap menyiapkan makanan meski tangannya letih, anak-anak yang menyanyi dengan suara cempreng tapi penuh semangat, para bapak yang tetap hadir meski siangnya habis kerja di ladang. Mereka tidak sedang menggelar pertunjukan iman. Mereka sedang hidup. Dan di tengah kehidupan yang keras itu, mereka tetap merayakan harapan. Mereka tidak menunggu semuanya sempurna dulu baru bersyukur. Mereka justru bersyukur dalam ketidaksempurnaan itu. Dan di situlah Paskah terasa begitu nyata.
Kami, anak-anak muda yang kadang sok idealis dan sering lelah, justru menemukan kekuatan dalam kelucuan. Kami menyadari, bahwa kalau pelayanan ini terlalu serius, kami akan tumbang di hari kedua. Tapi karena ada tawa, karena kami bisa meledek satu sama lain, karena kami bisa menganggap kesalahan teknis sebagai bagian dari pertunjukan hidup, kami bertahan. Dan lebih dari itu—kami menikmati. Kami tidak main-main dalam bermain. Dalam candaan kami ada cinta. Dalam canda kami, ada usaha menyambung hidup yang sering kali retak. Karena kami percaya: Tuhan tidak alergi pada lelucon. Tuhan tidak ilfil pada suara sumbang. Tuhan justru hadir di sela-sela ketulusan yang tidak terbungkus formalitas.
Itu sebabnya, kami tidak segan untuk bermain. Bukan untuk melucu, tapi untuk hidup. Karena hidup ini terlalu berat kalau tidak ditertawakan. Seorang pemikir eksistensial pernah berkata bahwa manusia adalah makhluk yang dilempar ke dunia tanpa tahu arah. Tapi Paskah membalik itu semua—karena kebangkitan Kristus membuat arah itu menjadi mungkin: arah menuju harapan. Kami sadar, harapan itu tidak selalu gemerlap. Kadang ia hadir dalam bentuk sederhana: seperti suara anak kecil yang mengucap, “Amin,” dengan tulus; atau seorang ibu yang mengantar kami pulang sambil membawakan pisang dari kebun. Kebahagiaan itu tidak perlu diunggah. Tidak perlu dicetak di buku laporan. Tapi ia nyata. Dan kami menyadari: kami tidak sedang melakukan pelayanan. Kami sedang berbagi kehidupan. Ketika kami berkata “Kami serius jika soal bermain,” orang mungkin mengira kami sedang bercanda. Tapi sebenarnya, itu adalah bentuk pembelaan terhadap cara hidup yang tidak memisahkan kesucian dan kesenangan. Bahwa bermain itu penting. Bahwa manusia yang bisa tertawa adalah manusia yang sadar bahwa ia belum kalah.
Kami tidak mengejar pujian. Kami bahkan tidak mengejar dokumentasi. Tapi kami mengejar perasaan utuh—bahwa di tengah kesederhanaan itu, kami merayakan Paskah dengan lebih jujur. Bahwa kami tidak sedang mempersembahkan sesuatu yang mewah, tapi sesuatu yang tulus. Ada satu malam, di salah satu titik perjalanan tour, kami duduk mengelilingi meja seadanya. Kami sudah terlalu lelah untuk berdiskusi. Tapi salah satu teman berkata pelan, “Gila, ya. Tadi jemaat itu kayak ngerasain Tuhan banget.” Dan kami semua diam. Bukan karena tidak sepakat. Tapi karena kami merasakannya juga. Bukan lewat hal besar. Tapi lewat yang kecil-kecil. Yang lucu. Yang sederhana. Yang tidak bisa direncanakan.
Sejak saat itu, kami tahu: mungkin justru ketika kami berhenti berusaha terlihat “serius,” justru di situ kami paling serius. Kami tidak pura-pura kuat. Kami tidak berpura-pura tahu semua. Kami hanya datang dan hadir, sebisa kami. Dan ternyata, itu cukup. Jika ada satu hal yang kami bawa pulang, bukanlah kaos tim, bukan juga testimoni panjang. Tapi satu kalimat yang kami ulang-ulang dengan geli, namun dengan kebanggaan terselubung: “Kami serius jika soal bermain.” Karena dalam bermain, kami tidak sedang remeh. Kami sedang percaya bahwa tawa juga bentuk syukur. Bahwa canda bisa jadi ruang penyembuhan. Bahwa dalam kejujuran yang bercanda, iman bisa lebih terasa. Mungkin begitulah cara kami menghayati Paskah. Bukan dengan lentera, bukan dengan spanduk, tapi dengan langkah yang sungguh-sungguh, senyum yang tidak dibuat-buat, dan permainan yang menyelamatkan akal sehat kami.
Kami tidak akan pernah jadi tim paling keren. Tapi mungkin, kami sedang jadi tim paling bebas. Bebas dari keharusan untuk sempurna. Bebas dari tekanan harus wow. Dan justru karena itu, kami bisa mengalir. Bisa tertawa. Bisa hidup. Dan bukankah itu inti Paskah? Bahwa hidup, meski pernah mati, bisa kembali bernyawa. Meski lelah, bisa kembali tertawa. Meski jatuh, bisa kembali main lagi. Paskah kami mungkin tidak pantas masuk buletin. Tapi Paskah itu membuat kami percaya lagi bahwa Tuhan memang bisa hadir di mana saja. Termasuk di antara tawa, lelucon, dan sandal jepit. Dan ya, kami akan terus bawa moto itu ke mana-mana: “Kami serius jika soal bermain.

Komentar

Postingan Populer