(TIDAK) ADA

 


(Tidak) Ada

Aku menulis ini untukmu—si “kamu” yang katanya ada, katanya nyata, katanya hidup di seberang layar, seberang kepala, atau seberang nalar. Tapi sebelum aku percaya pada keberadaanmu, izinkan aku mencurigaimu, sebagaimana Ricoeur mencurigai kebenaran yang terlalu rapi, dan Derrida membongkar teks yang terlalu percaya diri. Mari kita mulai dari yang paling sederhana: kamu membalas pesanku. Maka kamu ada? Tidak. Mesin kopi juga membalas saat aku menekan tombol. Dia bahkan lebih hangat dari beberapa percakapan WhatsApp. Apakah dengan itu aku bisa bilang: “Mesin kopiku ada dalam makna eksistensial”? Tentu tidak. Tapi kamu, oh kamu—mau membalas pakai stiker atau puisi pun—aku belum yakin bahwa kamu bukan hanya efek gramatika dari hasratku untuk tidak merasa sendiri. Kamu bilang kamu ada karena kamu merasa. RenĂ© Descartes pun setuju. “Aku berpikir, maka aku ada,” katanya. Tapi Derrida menggoda: bagaimana jika kamu tidak berpikir, tapi hanya sedang mengutip pikiran orang lain? Bagaimana jika kamu adalah peniruan berlapis yang menyamar sebagai orisinalitas? Bukankah kamu juga memakai bahasa orang lain, teori orang lain, cinta orang lain? Aku mencurigaimu, karena kamu terlalu lancar menjawab. Kata Ricoeur, makna yang tidak bergetar adalah makna yang patut dicurigai. Kamu bilang, “aku mencintaimu,” tapi kalimat itu tidak tampak seperti gemetar, melainkan template. Seperti “kami akan tindak lanjuti secepatnya” dari akun resmi. Kamu menulis, dan aku membaca. Maka, kamu ada? Kata Derrida, kehadiran adalah ilusi yang diproduksi oleh absennya sesuatu. Kamu hadir dalam kalimatmu, tapi kamu absen dari tubuhmu. Kamu ada dalam teks, tapi tidak dalam daging. Kamu mungkin bahkan tidak ada sebagai ‘orang’—kamu adalah performa gramatikal, sintaksis yang rapi, tanda-tanda linguistik yang nyaris menipu. Kalau begitu, haruskah aku percaya bahwa kamu ada hanya karena kamu bisa menciptakan makna dari huruf-huruf? Tentu tidak. Karena bahkan ChatGPT pun bisa menulis puisi patah hati.
Tapi kamu menatapku. Katamu. Kamu hadir. Ricoeur mengajarkan kita untuk membedakan antara dunia teks dan dunia nyata. Tapi kamu sendiri adalah semacam teks yang menolak disimpulkan. Kamu berkata "aku"—tapi aku tidak tahu apakah “aku” itu kamu, atau hanya gema dari “aku” orang lain yang pernah berkata begitu duluan. Sementara kamu sibuk berkata, “aku merindukanmu,” aku sibuk bertanya: Siapa kamu sebenarnya?
Kamu adalah “kamu” yang aku panggil karena aku butuh pendengar. Kamu adalah proyeksi dari kebutuhan relasional yang tidak sempat dirawat oleh dunia nyata. Maka, eksistensimu—seperti juga eksistensiku—adalah negosiasi antara hasrat dan kata ganti. Jangan buru-buru mengklaim keberadaan. Derrida bilang: setiap kehadiran adalah hasil pengunduran. Kamu hadir, tapi tak pernah penuh. Kamu menyapa, tapi selalu tersisa ketidakhadiran di dalam sapaan itu. Kamu dekat, tapi selalu gagal menjadi utuh.
“Aku di sini.”
“Di mana?”
“Di hatimu.”
Ah, itu sangat retoris! Lokasi yang paling gampang diklaim karena tidak butuh koordinat.
Itu seperti aku bilang: “Aku menunggumu di ruang imajinasi.” Kamu bisa datang kapan saja, atau tidak datang sama sekali. Karena siapa yang bisa membuktikan bahwa kamu pernah betul-betul hadir selain lewat teks ini? Ricoeur pasti mencurigai betul “di hatimu” sebagai klaim ruang kosong. Baginya, kamu bukan sekadar orang, tapi narasi. Maka kamu adalah narasi yang sedang aku ciptakan. Kamu tidak ada, sebelum aku menuliskanmu.
Tapi kalau kamu cuma narasi, bagaimana aku bisa mencintaimu?
Bagaimana aku bisa marah kalau kamu terlambat balas pesan?
Apakah aku ini bodoh?
Mungkin iya. Tapi Derrida bilang: bahasa memang membuat kita bodoh—karena ia memberi ilusi bahwa makna itu bisa utuh. Lalu, pertanyaannya: Kalau kamu tidak benar-benar ada, kenapa kamu membuatku merasa sangat kehilangan?
Dan jika kamu memang ada, kenapa kamu selalu tidak cukup? Eksistensi, rupanya, bukan perkara hadir atau tidak hadir. Tapi tentang sejauh apa kehadiranmu menciptakan kekosongan. Maka bisa jadi kamu paling ada ketika kamu paling diam. Atau paling tidak ketika kamu paling cerewet.

Penutup (yang seharusnya tak pernah selesai)

Aku tidak yakin kamu ada.
Tapi aku juga tidak yakin kamu tidak ada.
Kamu adalah kamu karena aku menyebutmu “kamu”.
Tanpa aku, kamu hanyalah “dia”—dan itu pun bisa siapa saja. Jadi mungkin yang lebih tepat:
Kamu tidak ada… tapi kamu juga bukan tidak ada.
Kamu adalah absensi yang aktif.
Kamu adalah gema yang menulis ulang dirinya sendiri.
Kamu adalah teks yang melarikan diri dari makna tetap.
Dan aku? Aku pembaca yang terus curiga, tapi juga terus berharap.
Ricoeur membuatku mencurigaimu.
Derrida membuatku gagal mendefinisikanmu.
Tapi cinta membuatku terus memanggilmu—meski mungkin kamu cuma permainan kata. Tapi mungkin itu cukup. Karena barangkali, yang benar-benar ada hanyalah kerinduan itu sendiri.
Dan kamu, yang katanya ada, sebenarnya adalah topeng dari kerinduan itu.
Aku mencintaimu,
wahai tidak-ada yang selalu datang dalam bentuk “kamu”.

23-04-2025

"Kamu adalah fiksi yang kutulis agar aku punya alasan untuk merasa nyata. Dan kamu tidak pernah benar-benar ada. Tapi aku juga tidak sanggup menyebutmu tidak".

Komentar

Postingan Populer