Aku akan disini


_____

"Aku akan disini" Kalimat itu tampak sederhana, biasa, bahkan terkesan tanpa ambisi. Tidak ada janji manis, tidak ada kata-kata besar yang menyapu langit-langit idealisme. Ia berdiri seperti sebuah kursi tua yang diletakkan di sudut ruangan; ia ada, namun tidak banyak menuntut perhatian. Namun, justru dalam kesederhanaannya itu, kalimat ini menyimpan paradoks yang mengusik: keberadaan yang tetap, statis, tanpa euforia, namun penuh dengan ketegangan eksistensial yang halus. Apa artinya 'berada di sini'? Dan lebih jauh, apa makna dari keputusan untuk 'berada'? Di tengah dunia yang memuja perubahan, pergerakan, dan percepatan, pilihan untuk 'berada di sini' sering dipandang sebelah mata—seakan-akan hanya orang yang kalah, lelah, atau gagal yang berhenti dan memutuskan 'cukup'. Namun saya ingin memutar balik bias itu. Apakah betul 'berada di sini' adalah bentuk kekalahan? Ataukah ia justru pilihan sadar yang melawan arus zaman?

Dalam pemikiran Martin Heidegger, manusia adalah 'Dasein', ada-di-dunia, yang selalu berada dalam situasi, dalam 'di sini' yang tak bisa dihindari. Namun ironisnya, manusia modern selalu tergoda untuk melarikan diri dari 'di sini'—menuju masa depan yang dijanjikan lebih baik, lebih besar, lebih gemilang. 'Aku akan berada di sini' menjadi deklarasi yang aneh, nyaris subversif, karena ia menolak fantasi tentang 'nanti' dan memilih berdiam dalam kenyataan yang kadang getir, membosankan, atau bahkan tidak mengesankan. Tapi berada di sini bukan berarti pasrah. Ada perbedaan tipis namun penting antara pasrah dan sadar. Pasrah adalah menyerah pada arus, membiarkan diri terseret dalam ketidakberdayaan. Sementara berada di sini, dalam pengertian kritis, adalah keputusan yang diambil dengan kesadaran penuh bahwa dunia mungkin mengundang kita berlari, melompat, atau melarikan diri, tetapi kita menolak ajakan itu. Kita memilih untuk hadir dengan tubuh yang utuh, dengan pikiran yang tenang, walaupun dunia di sekitar mungkin berjalan lebih cepat dari yang kita sanggupi.

Keputusan ini, meski tampak sederhana, bukan tanpa konsekuensi filosofis. Ia mengusik asumsi tentang makna hidup sebagai sesuatu yang harus selalu 'lebih'—lebih kaya, lebih bahagia, lebih sukses, lebih jauh. 'Aku akan berada di sini' mengubah arah pertanyaan. Ia tidak lagi menanyakan 'apa yang harus aku capai?' melainkan 'apa yang terjadi jika aku diam di sini?'. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, karena ia menuntut keberanian untuk menatap yang biasa-biasa saja, yang tidak heroik, yang mungkin bahkan sepi. Kita hidup dalam budaya yang alergi terhadap 'sepi' dan 'biasa'. Keheningan dianggap gangguan, ketidakaktifan dianggap kegagalan. Maka, 'berada di sini' menjadi tindakan yang melawan arus konsumsi, produksi, dan hiburan tanpa henti. Ia mengajarkan kita untuk kembali kepada pengalaman paling purba manusia: duduk, menatap, mendengarkan, dan menyadari bahwa keberadaan itu sendiri sudah cukup penuh tanpa harus dikemas dalam slogan-slogan besar. Secara politis pun, 'aku akan berada di sini' punya daya yang halus tapi tajam. Di tengah tekanan untuk selalu bergerak, pergi, atau mengikuti arus kekuasaan, keputusan untuk tetap di sini bisa menjadi bentuk perlawanan yang tidak berisik tapi gigih. Seperti petani yang menolak menjual tanahnya demi janji investasi besar. Seperti penjaga taman kota yang tetap merawat bunga walau tak banyak yang memandangnya. Mereka semua mengatakan 'aku akan berada di sini' sebagai pengakuan atas ruang yang mereka cintai, walau mungkin dunia menganggap ruang itu tidak penting.

Ada semacam kesetiaan yang lahir dari keputusan untuk berada di sini. Kesetiaan yang tidak lahir dari ikatan emosional yang meluap, melainkan dari pemahaman bahwa dunia tidak selalu butuh lebih banyak orang yang sibuk pergi, melainkan butuh orang-orang yang setia menjaga apa yang ada, memelihara ruang-ruang kecil, relasi-relasi sederhana, percakapan-percakapan yang remeh tapi manusiawi. Dalam konteks relasi pun, 'aku akan berada di sini' menjadi pengakuan yang jujur. Ia tidak menjanjikan langit dan bintang, tidak bersumpah setia selamanya. Ia hanya mengatakan, dalam bahasa yang telanjang dan apa adanya: 'hari ini, aku memilih tetap di sini. Besok mungkin kita bicara lagi. Tapi hari ini, di ruang ini, aku memilih ada.' Dan kadang, itu jauh lebih jujur dan menenangkan dibanding janji-janji kosong yang suka kita lempar hanya untuk menenangkan kecemasan kita sendiri. Saya kira, di sinilah letak kedalaman dari 'aku akan berada di sini'. Ia tidak menawarkan kenyamanan. Ia bahkan tidak menawarkan masa depan. Ia hanya mengajak kita bertemu di persimpangan yang paling sederhana: hadir. Hadir di tengah yang biasa-biasa saja. Hadir dalam kebosanan. Hadir dalam ketidakpastian. Hadir dalam luka yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan kata-kata indah.

'Aku akan berada di sini' adalah kalimat yang mungkin tidak akan dijadikan moto hidup oleh banyak orang, karena ia terlalu kecil, terlalu biasa, terlalu tidak menjual. Namun mungkin justru di situlah ia menemukan daya filosofisnya: mengembalikan manusia kepada titik asal keberadaannya, yang tidak lebih dan tidak kurang dari 'berada' itu sendiri. Dan bukankah itu yang sering kita lupakan? Bahwa berada, tanpa embel-embel, tanpa hiasan, tanpa dramaturgi yang muluk-muluk, adalah inti dari keberadaan kita? Mungkin kita tidak harus selalu 'jadi' sesuatu. Mungkin cukup dengan 'ada'—dan tetap ada—sudah merupakan tindakan yang cukup radikal dalam dunia yang sibuk berlari ini. Maka aku akan berada di sini. Bukan karena aku tidak bisa ke sana. Bukan karena aku kalah. Tapi karena aku memilih hadir di titik ini, di ruang ini, di detik ini. Dan mungkin, itu sudah cukup untuk hari ini.

_____


Komentar

  1. msa si om

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gatau, coba tanya rumput yang bergoyang

      Hapus
    2. gmau, mau tnya om aja

      Hapus
    3. Saya masih muda. 17 tahun umurnya.

      Hapus
    4. ada untuk aku ga

      Hapus
    5. Ada mungkin, anonim namamu disini

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer