Barangkali cinta itu ateis, tapi Tuhan lewat disana



___

Manusia adalah makhluk yang suka membingkai realitas dalam kotak-kotak yang tampak kokoh namun seringkali rapuh di dalamnya. Salah satu kotak itu bernama agama. Di dalamnya, manusia meletakkan identitas, rasa aman, makna hidup, hingga panduan memilih pasangan. Maka tidak heran ketika cinta—yang mestinya liar, bebas, dan tidak mengenal pagar batas—dipaksa tunduk pada kotak-kotak itu. Dan di sinilah absurditas kecil kita dimulai: mengapa kita, terutama yang mengaku Kristen, begitu alergi ketika jatuh hati pada yang berbeda agama? Pertanyaan ini sebenarnya sederhana, namun jawabannya tidak sesederhana daftar ayat atau doktrin gereja. Di satu sisi, kita diajarkan kasih itu universal, menembus sekat, bahkan sampai pada musuh. Di sisi lain, kita diberi pedoman bahwa pasangan hidup sebaiknya ‘seiman’—frasa yang secara samar mengandung kecurigaan pada yang ‘tidak sama.’ Ironis, bukan? Kita mengaku Tuhan adalah kasih yang menembus batas, tapi kita sendiri membangun tembok paling tebal justru di soal cinta yang paling manusiawi itu. Dan di tengah labirin itu, pertanyaan yang jarang sekali diajukan dengan jujur adalah: bagaimana jika Tuhan sendiri merencanakan pasanganmu adalah orang yang berbeda agama? Bukan sebagai ujian, bukan sebagai godaan, melainkan sebagai bagian dari panggilan hidupmu? Sebagian dari kita mungkin langsung menutup pintu logika itu dengan dalih 'Tuhan tidak mungkin merencanakan yang tidak sesuai dengan firman-Nya.' Tapi bukankah itu menyederhanakan Tuhan menjadi agen yang hanya bekerja dalam sistem kepercayaan kita yang serba teratur? Bukankah itu menempatkan Tuhan sebagai pegawai administrasi yang hanya memproses permintaan berdasarkan prosedur gereja? Apakah kita sedang memuliakan Tuhan, atau justru memperkecil-Nya agar nyaman di dalam sistem kita?

Mungkin di sinilah letak dilema iman yang sejati: ketika kita dipaksa berhadapan dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan dogma yang sudah kita hafalkan, iman kita mulai terancam limbung. Tapi bukankah iman yang sejati justru bertumbuh di ruang-ruang gelap yang penuh ketidakpastian, di mana kita harus mengandalkan kepercayaan yang tulus, bukan sekadar kepatuhan yang mekanis? Jika kita benar-benar percaya bahwa Tuhan adalah Allah yang hidup dan aktif, mengapa kita begitu ketakutan ketika jalan-Nya ternyata lebih rumit dari liturgi yang kita ikuti tiap minggu? Pertanyaan itu mengundang kita menggali lebih dalam: apakah iman kita sebenarnya percaya pada Tuhan yang bebas, atau hanya pada ide tentang Tuhan yang sesuai dengan denominasi dan struktur yang kita bangun? Bagaimana jika Tuhan, dalam kebebasan-Nya yang absolut, memang sengaja mengutus cinta yang berbeda agama, bukan untuk menyesatkanmu, tapi untuk mendewasakan imanmu? Apakah kita siap menerima kenyataan bahwa mungkin Tuhan sedang mempermalukan kesombongan rohani kita yang merasa sudah tahu pasti apa yang baik dan yang buruk? Di titik ini, pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan daftar ayat atau kalkulator moral yang kita pakai untuk menghindari dilema. Ini adalah pertanyaan eksistensial yang menghantam jantung iman itu sendiri. Apakah kita siap menerima bahwa Tuhan—yang kita pikir hanya berkarya di dalam pagar komunitas kita—ternyata juga bebas berkarya di luar itu? Apakah kita siap mengakui bahwa cinta, yang kita kira bisa kita atur dalam liturgi dan denominasi, ternyata bekerja dengan logika yang lebih dalam dan lebih misterius? 

Nietzsche, dalam absurditasnya yang tampak aneh, pernah berkata bahwa manusia harus membebaskan diri dari ilusi tentang dunia yang tertib dan teratur. Tapi kita, yang mengaku mengenal Tuhan yang bebas dan melampaui logika manusia, justru sering menjadi penjaga paling keras dari ilusi ketertiban itu. Mungkin kita takut bukan pada yang berbeda, tapi pada kenyataan bahwa Tuhan yang kita sembah jauh lebih radikal daripada yang bisa kita pahami. Mungkin Tuhan memang tidak pernah nyaman dalam kotak-kotak kita yang aman. Maka, jika Tuhan benar-benar mengirimkan cinta dari yang berbeda agama, mungkin itu bukan sekadar ujian iman, tapi undangan untuk bertumbuh dalam iman yang lebih matang, lebih terbuka, lebih berani. Iman yang bukan hanya berani berkata ‘amin’ di dalam gereja, tapi juga berani berkata ‘aku percaya’ di tengah kekacauan, negosiasi, dan ketidakpastian. Iman yang berani menerima bahwa hidup tidak selalu steril, tapi justru di dalam kekacauan itulah kita dipanggil menemukan kehadiran-Nya yang tersembunyi. Karena mungkin iman yang sejati bukanlah iman yang hanya bertahan di ruang ibadah, tapi iman yang berani bertarung di ruang paling manusiawi: cinta, perbedaan, dan keberanian untuk menerima bahwa kita tidak selalu punya kontrol penuh atas siapa yang kita cintai—dan bagaimana kita menghidupi cinta itu di tengah realitas yang tidak selalu sesuai dengan doktrin yang kita hafal. Dan bukankah itu justru iman yang lebih radikal? Namun, di balik semua kompleksitas itu, kita juga harus berani bertanya: apakah semua perbedaan itu harus dirayakan? Apakah semua kekacauan harus diterima begitu saja sebagai keindahan yang tersembunyi? Tidak juga. Ada harga yang harus dibayar, ada luka yang harus ditanggung, ada ruang-ruang gelap yang bisa menggerus iman, harapan, dan cinta itu sendiri. Cinta beda agama bukan sekadar puisi tentang keberanian dan kebebasan, tapi juga medan pertarungan yang berdarah-darah, di mana iman bisa tumbuh, tapi juga bisa hancur. Di sinilah dimensi etik dan politiknya menjadi terang: cinta beda agama bukan hanya urusan dua insan yang jatuh hati, tapi juga urusan komunitas, keluarga, bahkan negara yang punya kebiasaan mengatur urusan privat menjadi urusan publik. Negosiasi cinta beda agama adalah negosiasi politik, tentang siapa yang punya kuasa menentukan norma, siapa yang berhak mendefinisikan kebenaran, siapa yang boleh mengklaim berkat, dan siapa yang dianggap sesat.

Maka, menerima cinta beda agama bukan hanya urusan spiritual pribadi, tapi juga tindakan subversif terhadap sistem yang mengklaim diri sebagai representasi kehendak Tuhan di bumi. Ia menjadi tindakan yang mengganggu ketertiban moral publik yang lebih suka hidup dalam ilusi keseragaman daripada menerima kenyataan bahwa dunia ini memang penuh kekacauan, dan justru di sanalah Tuhan berkarya. Dan barangkali di sanalah letak iman yang paling radikal: bukan iman yang berani berteriak dari mimbar, tapi iman yang diam-diam bertahan di meja makan yang dipenuhi perbedaan, di ruang keluarga yang penuh ketegangan, di ruang doa yang sunyi, di mana kita hanya bisa berdoa: 'Tuhan, aku tidak mengerti semua ini, tapi aku percaya Engkau ada di dalamnya.' Mungkin, pada akhirnya, iman itu bukan tentang punya jawaban yang benar, tapi keberanian untuk terus bertanya, terus berjalan, terus percaya—bahkan di tengah kekacauan yang tidak nyaman. Dan yang terkahir mungkin, Barangkali Tuhan tidak pernah takut pada yang berbeda, hanya kita saja yang terlalu nyaman dengan iman yang seragam.

____

"Barangkali masalahnya bukan pada cinta yang beda agama, tapi pada iman yang terlalu takut pada kemungkinan bahwa Tuhan lebih besar dari sistem kita."


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer