Galau?
Tiba-tiba saya suka lagu galau.
Aneh, bukan? Saya yang biasanya mendengarkan suara hujan, deru angin, dan gumam filsuf dalam pikiranku sendiri, kini malah menyetel playlist “Sad Hours” yang algoritmanya dibuat oleh orang-orang yang barangkali pernah gagal menyatakan cinta di halte bus, atau patah hati karena tukang fotokopi langganan menikah dengan orang lain. Saya bukan tipe yang mendadak menangis karena lirik lagu. Saya juga bukan tipe yang memasang caption patah hati di Instagram Story sambil memutar lagu Sendu Tingkat Mahadewa. Saya tidak terlalu peduli siapa yang meninggalkan siapa, karena saya pikir, dunia ini memang didesain untuk ditinggalkan. Termasuk oleh logika.
Namun pagi ini, entah kenapa, saya memutar lagu galau. Bukan satu, tapi tujuh. Dan bukan tanpa alasan, tapi juga bukan karena alasan.
Saya tidak sedang jatuh cinta, tidak juga patah hati. Tapi kenapa mendadak saya merasa cocok dengan suara-suara lirih yang menyanyikan patah, sepi, kecewa, dan kehilangan? Apakah ini yang disebut... perasaan? Saya tahu betul bahwa manusia itu makhluk absurd. Menciptakan makna untuk mengisi kehampaan yang tak bisa mereka toleransi. Mengutip Camus, hidup itu seperti orang mendorong batu ke atas bukit setiap hari hanya untuk melihatnya jatuh kembali, dan mereka menyebut itu kehidupan.
Saya pun mendorong batu saya sendiri. Bukan batu cinta, bukan juga batu rindu. Tapi batu pertanyaan. Dan tiap kali saya dorong sampai puncak, jawabannya jatuh, buyar, kabur—dan saya harus mulai lagi dari awal. Tapi hari ini, yang jatuh bukan batu. Yang jatuh adalah pertahanan saya sendiri terhadap ke-absurd-an itu. Saya yang biasa menyambut absurd dengan tenang, hari ini malah menyambutnya dengan lagu galau. Saya curiga, lagu galau ini semacam virus. Ia menyusup diam-diam ke dalam sistem pertahanan eksistensial saya, dan menyulap kemapanan saya menjadi keraguan yang tidak keren. Bukan keraguan filosofis yang membuka kemungkinan, tapi keraguan remaja yang bertanya: apa aku kurang lucu baginya? Dan saya tidak suka ini. Ada yang aneh dengan bagaimana saya menyerap makna akhir-akhir ini.
Biasanya, saya membongkar lirik lagu layaknya autopsi terhadap mayat: dingin, sistematis, mencari sebab-musabab. Tapi pagi ini, saya malah merasa ditampar oleh satu lirik yang sangat klise: "Satu Langkah." Saya bukan orang yang puitis. Saya lebih percaya logika daripada luka. Tapi barangkali, luka lebih jujur daripada logika. Luka tidak butuh argumen, dia hanya muncul—seperti suara lagu galau yang entah kenapa cocok untuk latar belakang hidup saya yang sebenarnya tidak sedang sedih. Atau... saya sedang sedih, tapi terlalu malas untuk mengakuinya? Saya tidak tahu. Dan itu menjengkelkan. Karena saya biasanya tahu. Atau paling tidak, berpura-pura tahu.
Saya punya mekanisme pertahanan yang andal: menyelamatkan diri dengan analisis, melarikan diri ke dalam kata-kata, dan bersembunyi di balik kutipan filosofis. Tapi lagu galau ini berhasil membobol semuanya. Ia datang tidak dengan argumen, tapi dengan melodi. Dan saya tak bisa melawannya. Saya mulai curiga bahwa saya tidak sedang mendengarkan lagu galau karena kebetulan. Tapi karena lagu-lagu itu seperti cermin—dan saya sedang dalam misi rahasia untuk mencari bayangan saya sendiri yang sudah lama tidak saya lihat. Biasanya saya hanya melihat “pikiran saya”. Tapi pagi ini, saya mencari sesuatu yang lebih kabur: rasa saya. Dan rupanya, saya tidak terlalu pandai mengenali rasa sendiri. Saya terlalu sering menjadi pengamat. Mengamati orang jatuh cinta, lalu saya membuat tesis tentang itu. Melihat orang kecewa, lalu saya menuliskan esainya. Saya bukan partisipan kehidupan, saya adalah komentator kehidupan. Tapi lagu galau tidak memberi ruang untuk komentator. Ia hanya punya satu pintu: masuk sebagai korban. Dan saya masuk. Dengan rasa malu. Dengan keraguan. Dengan otak yang bingung: Kenapa saya menikmatinya? Saya sempat menertawakan orang-orang yang memasukkan lirik lagu galau ke caption foto mereka yang buram. Saya sempat menganggap mereka terlalu sentimentil, terlalu gampang terbawa perasaan. Saya pikir, hidup tidak seharusnya sesederhana itu: sakit hati lalu menangis. Tapi hari ini, saya merasa bahwa mungkin saya iri. Iri pada mereka yang bisa merasa tanpa perlu menjelaskan. Iri pada mereka yang bisa menangis tanpa harus tahu kenapa. Iri pada mereka yang tidak membongkar perasaan dengan teori, tapi cukup dengan air mata. Saya terlalu lama hidup sebagai kepala yang tidak punya tubuh. Dan ketika tubuh saya akhirnya bersuara—lewat lagu galau ini—saya tidak tahu harus menjawab apa. Saya bingung. Saya tertangkap basah sedang... merasa. Saya ingin menjelaskan ini secara rasional. Bahwa mungkin ini hanya efek hormonal. Atau mungkin pengaruh cuaca. Atau algoritma Spotify yang terlalu jenius. Tapi ada bagian dari saya yang tak bisa dijelaskan. Dan itu menyebalkan.
Saya suka kejelasan.
Saya suka pola.
Saya suka peta.
Dan perasaan ini tidak punya peta. Maka saya duduk di pojok kamar. Lagu galau terus berputar. Saya tidak menangis. Tapi juga tidak tersenyum. Saya hanya... diam. Seperti orang yang baru sadar bahwa selama ini ia bukan hidup, tapi mempelajari hidup. Saya tidak ingin dihakimi. Saya tidak ingin diberi nasihat. Saya tidak ingin diajak berbicara tentang cinta. Saya hanya ingin dibiarkan mendengarkan lagu galau tanpa perlu memberi makna. Tanpa perlu menyisipkan kutipan Nietzsche atau Derrida. Tanpa harus menjelaskan ini sebagai “proses eksistensial”. Saya hanya ingin, untuk sekali ini saja, menjadi orang biasa.
Yang patah hatinya tidak filosofis.
Yang kesepiannya tidak esensial.
Yang sendunya tidak metafisik.
Yang galau-nya... ya cuma galau. Karena memang itu yang saya rasa.
Tapi tentu saja, saya tidak bisa begitu saja membiarkan ini semua terjadi. Saya tahu, saya akan kembali menganalisis ini malam nanti. Saya akan menulis refleksi. Saya akan membuka jurnal filsafat dan mencari padanannya. Karena saya bukan tipe yang tinggal di rasa terlalu lama. Saya akan kembali ke kepala saya. Ke benteng saya. Ke kata-kata saya. Dan lagu galau ini akan saya ingat bukan sebagai perasaan, tapi sebagai peristiwa. Peristiwa ganjil ketika saya, si penyendiri logis yang tidak suka dikasihani, mendadak jadi pendengar setia lirik sedih.
Dan diam-diam... menikmatinya.
masa si om
BalasHapus