Jika Aku bukan, maka itu bukan aku.
(12-Mei-2025)
Ada yang tak selesai dari sisa kopi kemarin. Pahitnya masih bertengger di lidah, meskipun aku sudah mencoba membilasnya dengan air, teh manis, bahkan soda yang berjanji akan menghapus semua jejak rasa. Tapi tidak. Pahit itu menetap. Dan celakanya, aku mulai menyukainya. Seperti seorang kolektor rasa sakit, aku menyimpan kenangan dalam rak-rak memori yang kubuat sendiri, dengan label yang kuberi nama "sebaiknya tidak dibuka, tapi silakan intip sedikit". Lucu memang, bagaimana manusia menyusun museum patah hati dan memungut serpihan waktu seperti artefak. Kadang aku merasa diriku adalah arkeolog perasaan, yang menggali reruntuhan masa lalu bukan untuk belajar, tapi untuk tinggal di sana. Orang menyebut ini belum berjalan dengan jauh, tapi aku lebih suka menyebutnya: eksistensi dalam residu perasaan yang belum diputuskan oleh waktu. Terdengar cerdas, bukan? Padahal intinya sama saja: aku masih terpaku pada apa yang sudah pergi.
Mereka bilang, waktu menyembuhkan segalanya. Aku sangsi. Sejak kapan waktu punya ijazah kedokteran? Dan kalau pun dia menyembuhkan, mengapa rasa sakit ini masih merasa begitu hidup? Ah, barangkali waktu bukan penyembuh, tapi hanya penata panggung. Dia hanya tahu bagaimana menyusun cahaya dan bayangan agar luka terlihat seperti seni. Aku masih ingat aroma sabun mandi yang dulu dia pakai. Sederhana, tapi lekat. Setiap bau serupa kini menjelma alarm nostalgia. Aku heran, apakah memori manusia memang dirancang untuk kejam? Atau barangkali ini strategi biologis agar kita tak pernah benar-benar sembuh, karena kalau semua orang lekas sembuh, apa gunanya puisi, lagu, dan iklan parfum?
Maka aku hidup dalam sarkasme harian. Bangun pagi, menyapa hari dengan semangat pura-pura, menertawakan lelucon yang kubuat sendiri di kepala: “Selamat pagi, kamu masih sendiri hari ini!” Dan semua orang pun ikut tertawa, karena tak ada yang sadar kalau aku sedang berbicara serius. Tapi memang begitulah manusia: terlalu nyaman hidup dalam kebohongan sosial yang dibungkus humor. Kita memanggilnya coping mechanism, agar terdengar ilmiah, padahal isinya cuma: "aku takut kesepian." Seseorang pernah berkata padaku: "Kalau kamu belum bisa melupakan, setidaknya maafkan." Dan aku jawab, “Aku tidak sedang menyimpan dendam. Aku hanya sedang betah tinggal di reruntuhan.” Mereka tertawa, lagi-lagi karena mengira aku bercanda. Tapi aku sungguh. Di sana, di antara puing dan debu, ada ruang yang tak pernah diusik harapan baru. Tempat itu sunyi, dan mungkin karena itulah aku merasa aman.
Kata filsuf Prancis itu, manusia dibentuk oleh hasrat yang tak pernah terpenuhi. Barangkali itulah aku: bentuk yang lahir dari kekosongan, berjalan dengan bayangan orang yang tak lagi ada, tetapi masih kukira nyata. Aku berbincang dengannya di dalam kepala, seperti dua filsuf kuno berdialog tentang makna eksistensi. Bedanya, aku tahu aku sedang bercakap dengan ketiadaan. Tapi hei, ketiadaan pun bisa jadi teman bicara yang lebih jujur daripada banyak orang hidup hari ini. Apa makna “melangkah lebih jauh” selain sebuah agenda produktivitas kapitalisme emosional? Kita diajarkan untuk "bangkit", "kuat", dan "melanjutkan hidup" karena itulah cara dunia berfungsi. Tak ada waktu untuk hancur. Tapi bagaimana kalau hancur adalah bentuk kejujuran paling radikal yang bisa kupilih? Bagaimana jika aku ingin diam di puing ini, bukan karena tak bisa melanjutkan, tapi karena tak ada alasan rasional untuk berpura-pura ada jalan lain?
Aku tak sedang memuja masa lalu. Jangan salah. Aku bukan penulis roman picisan. Justru aku tahu masa lalu itu busuk. Tapi bukankah itu menariknya? Seperti keju yang semakin tua, justru karena busuknya dia punya harga. Rasa sakit itu punya nilai, bukan karena ia indah, tapi karena ia mengingatkan aku bahwa aku pernah hidup. Orang-orang ingin bahagia. Tapi aku? Aku ingin jujur. Dan kejujuran itu tidak selalu cerah. Kadang dia berwarna abu-abu, beraroma sisa, dan berbicara dalam bisikan yang bahkan tidak sanggup kita akui di hadapan cermin. Itulah sebabnya aku menulis ini. Bukan untuk sembuh. Tapi untuk tetap waras, dalam sakit yang sudah kuanggap rumah. Jadi tidak, aku belum melangkah jauh. Dan mungkin tidak akan. Bukan karena aku lemah. Tapi karena aku tahu, beberapa hal tak diciptakan untuk diselesaikan, hanya untuk dikenang dengan elegan. Dan aku akan terus mengingat, bukan untuk menyesali, tapi untuk memastikan bahwa bagian dari diriku yang pernah mencintai itu masih ada, masih bernapas, dan masih memilih untuk tidak pura-pura baik-baik saja. Karena menjadi manusia, pada akhirnya, bukan soal melupakan luka. Tapi bagaimana kita membuat luka itu tidak kehilangan makna.
RangkasBitoeng.
(Atas nama yang hidup)
Komentar
Posting Komentar