Oba Yozo dalam kehidupan nyata
Aku tidak tahu siapa sebenarnya Oba Yozo. Tapi barangkali, tak seorang pun tahu siapa dirinya, termasuk dia sendiri. Ia seperti bayangan yang enggan menempel pada tubuhnya—atau lebih tepatnya, tubuh yang merasa jijik pada bayangannya sendiri. Aku enggan menyebutnya sebagai tokoh fiksi, karena terlalu banyak manusia nyata yang hidup seperti dia, dan terlalu sedikit yang bersedia mengakuinya. Yozo bukan anti-pahlawan. Ia bahkan terlalu lemah untuk menjadi “anti”. Ia tidak menolak dunia, tapi juga tidak menerimanya. Ia hanya membiarkannya lewat seperti orang asing yang tak diundang dan tak sempat disapa. Ia bukan pemberontak, tapi juga bukan penurut. Ia semacam makhluk yang dilempar ke dunia dan tidak pernah merasa cocok bahkan dengan dirinya sendiri. Dan aku—dalam banyak malam yang panjang dan terlalu sepi—sering merasa seperti sedang bercermin ketika membaca catatan-catatan kecilnya yang berakhir pada keheningan.
Ada semacam tragedi diam-diam dalam cara hidup Yozo—bukan tragedi besar yang dramatis, tapi kesunyian yang pelan-pelan mencekik. Ia bukan tokoh yang ingin diselamatkan, bahkan tidak yakin layak untuk itu. Dan justru di sanalah letak luka terbesarnya: ketidakmampuan untuk merasa layak. Yozo, yang sepanjang hidupnya berpura-pura tertawa agar tak terlihat menyedihkan, tak pernah benar-benar tertawa untuk dirinya sendiri. Dia seperti pelawak yang menangis diam-diam di balik panggung yang sudah roboh. Dan aku, yang kadang merasa ingin tertawa agar orang-orang tidak tahu bahwa aku letih, melihat sedikit bayanganku dalam dirinya.
Yozo tidak asing karena ia aneh. Ia asing karena dunia tak pernah mengizinkannya menjadi biasa. Ia tidak bisa menjadi anak yang baik, kekasih yang stabil, suami yang waras, atau manusia yang utuh. Setiap kali ia mencoba, realitas memaksanya menjadi lebih hancur. Dan dalam kehancuran itulah, ia mulai mempelajari bahwa keterasingan bukanlah nasib—ia adalah keadaan dasar manusia yang berpura-pura sebaliknya. Ia sadar, sejak awal, bahwa yang disebut “normal” itu mungkin hanya ilusi kolektif yang ditertawakan secara diam-diam oleh orang-orang yang kelelahan berpura-pura. Apakah kita benar-benar “terhubung” satu sama lain, ataukah kita hanya saling menyentuh permukaan sambil bersembunyi dalam kedalaman yang tak tersentuh? Oba Yozo tidak merasa “dikenal” oleh siapa pun, bahkan oleh mereka yang tidur di ranjang yang sama. Dan kalau aku jujur, aku pun sering merasa begitu. Tidak semua kesendirian itu karena tidak ada orang. Ada kesendirian yang muncul justru di tengah keramaian, ketika kata-kata yang keluar hanyalah pertunjukan sosial, bukan ekspresi batin.
Kita hidup di tengah masyarakat yang begitu haus akan validasi, namun ketakutan akan kejujuran. Maka seperti Yozo, kita belajar menjadi badut. Kita belajar memakai topeng agar tak diusir. Kita membuat lelucon dari kesakitan, dan menyimpan tangis di kamar mandi yang berbau sabun murahan. Yozo terlalu lemah untuk bertarung, dan terlalu jujur untuk bertahan sebagai pembohong profesional. Ia hanya ingin dilihat, bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai manusia yang patah. Tapi dunia tak punya tempat untuk itu. Yozo tidak percaya pada apa pun, tetapi ia ingin dicintai. Dan di situlah pertentangan besarnya dimulai. Karena cinta memerlukan rasa percaya. Dan percaya adalah kemewahan yang tidak bisa dibeli oleh orang-orang yang terlalu sering kecewa. Maka ia terus terjebak dalam lingkaran setan: merindukan cinta, tapi takut disakiti. Mendekat, lalu lari. Membuka diri, lalu menyesal. Menertawakan kepalsuan, tapi diam-diam ingin mempercayainya.
Dalam kerangka eksistensialisme, Yozo bisa kita pandang sebagai representasi dari manusia yang mengalami “kebebasan radikal” tapi tidak tahu harus apa. Ia menyadari bahwa tidak ada makna yang absolut, tapi tidak memiliki kekuatan untuk menciptakan maknanya sendiri. Ia tidak cukup absurd untuk jadi Camus. Ia tidak cukup pemberontak untuk jadi Sartre. Ia hanya cukup hidup untuk merasakan kehampaan, tapi tidak cukup berani untuk melawannya. Maka ia memilih untuk perlahan menghilang—melalui obat, alkohol, dan ketidakhadiran batin. Mungkin kita pun serupa. Kita tidak ingin mati, tapi juga tidak terlalu semangat untuk hidup. Kita ingin dimengerti, tapi tidak percaya ada yang sungguh bisa mengerti. Kita menulis, seperti Yozo menulis, bukan untuk didengar, tapi untuk menyisakan jejak. Karena takut suatu hari, bahkan kita pun lupa bahwa kita pernah hidup.
Apa yang membuatku merasa dekat dengan Yozo bukanlah karena aku pernah mencoba bunuh diri, atau karena aku pernah jadi alkoholik. Tapi karena aku tahu rasanya menjadi orang yang terlalu banyak berpikir dan terlalu sedikit mencintai diri sendiri. Aku tahu rasanya menjadi seseorang yang, di dalam sunyi, mempertanyakan: apakah aku ini manusia biasa, atau hanya kebetulan tidak berhasil menjadi mesin sosial? Yozo menulis: “Saya menganggap diri saya sebagai manusia yang gagal.” Aku pun kadang bertanya, apakah ukuran keberhasilan itu ditentukan oleh seberapa baik kita bisa berpura-pura menjadi orang lain? Apakah kegagalan hanya milik mereka yang tidak bisa menyesuaikan diri, atau milik mereka yang terlalu jujur pada dirinya sendiri? Barangkali, sebagian dari kita lahir dengan semacam sensitivitas yang terlalu halus untuk dunia yang kasar. Bukan karena kita istimewa, tapi justru karena kita terlalu rapuh. Dan kepekaan yang rapuh itu, seperti luka terbuka, menganga sepanjang hidup. Yozo hidup seperti itu, dan aku mengerti bagaimana rasanya.
Pertanyaan yang tidak pernah Yozo ajukan secara eksplisit, tapi selalu mengendap dalam tiap kalimatnya, adalah: Apakah aku masih layak hidup? Dan barangkali itu juga pertanyaan yang banyak manusia simpan dalam hati, tapi tidak pernah punya keberanian untuk ucapkan. Dalam dunia yang mengukur nilai hidup dari produktivitas, keberhasilan, atau kebahagiaan, orang-orang seperti Yozo adalah surplus eksistensial. Mereka adalah sisa-sisa sistem yang tak punya tempat dalam logika untung-rugi. Tapi justru karena itulah, mereka menjadi cermin. Bukan untuk ditatap dengan jijik, tapi dengan kejujuran. Karena dalam diri mereka, kita melihat bagian diri yang kita sembunyikan. Dan barangkali, satu-satunya jawaban yang bisa kita berikan untuk pertanyaan Yozo adalah ini: Kamu layak hidup, bukan karena kamu baik, kuat, atau bahagia. Tapi karena kamu manusia. Dan menjadi manusia itu sendiri sudah cukup.
Yozo tidak pernah menyelesaikan hidupnya. Ia hanya berhenti muncul dalam cerita. Tapi bukan berarti cerita itu berakhir. Karena di setiap orang yang membaca No Longer Human, ia lahir kembali. Ia bukan hantu, tapi peringatan: bahwa menjadi manusia itu sulit. Bahwa ada orang-orang yang hanya bisa bertahan dengan tertawa sambil menangis. Dan aku, yang menulis ini, tidak ingin menyimpulkan Yozo. Karena menyimpulkan adalah bentuk kekuasaan atas sesuatu yang belum selesai. Yang bisa kulakukan hanyalah menemani. Menjadi saksi bagi orang-orang yang terlalu sunyi untuk bicara. Karena dalam dirimu yang membaca ini, barangkali ada sedikit Yozo juga. Dan itu tidak membuatmu lemah. Itu membuatmu jujur. Maka jika hari ini kamu merasa tidak sanggup menjadi “manusia normal”, ingatlah bahwa mungkin normalitas bukanlah ukuran, melainkan kedok. Dan mereka yang melepaskannya, tidak gagal. Mereka hanya lebih jujur. Dan kadang kejujuran memang membuat kita merasa sangat sendirian. Tapi tidak apa-apa. Aku juga sedang belajar jujur. Dan barangkali, di titik ini, kita tidak sendiri lagi.
Komentar
Posting Komentar