Refleksi: aku yang nanya, aku yang jawab



Aku berdiri di persimpangan yang tak bertanda, di mana pertanyaan lebih sering datang daripada jawaban. Bukan karena aku pandai bertanya, tapi karena aku belum pernah puas dengan apa pun yang terdengar masuk akal. Refleksi ini bukan usaha untuk mengakhiri kebingungan, melainkan cara untuk menemaninya—dengan santai, kritis, dan sedikit sinis. Karena kadang, hidup memang lebih nyaman ketika tidak terlalu serius.

Gedono: Ini Panggilan atau Paksaan?

Aku duduk di sebuah bangku kayu yang sudah lapuk dimakan waktu. Hening. Bahkan daun yang jatuh pun seakan meminta izin dulu sebelum menyentuh tanah. Di tempat seperti ini, orang-orang sering berkata mereka menemukan panggilannya. Sebuah suara dari dalam atau luar yang menggetarkan. Tapi, mengapa aku tidak mendengar apa-apa? Aku mulai curiga, jangan-jangan aku ini tuli terhadap hal-hal yang katanya sakral. Atau mungkin, memang tidak ada yang memanggil. Karena jika benar ada panggilan, tentu suara itu tahu bagaimana cara menemukan frekuensi telingaku, bukan? Namun di sini, di tempat yang katanya penuh bisikan Roh, aku hanya mendengar perutku sendiri yang lapar dan burung-burung yang cerewet dari pagi. Lalu aku mulai bermain dengan pertanyaan: apakah benar manusia perlu dipanggil untuk merasa berarti? Atau panggilan itu hanyalah cara halus untuk membungkam keinginan bebas yang terlalu liar? Mungkin kita semua hanya sedang mencari alasan agar hidup ini tampak penting, karena terlalu jujur untuk mengaku bahwa kita sebenarnya bosan.

Aku ingin percaya bahwa ada sesuatu yang besar, sesuatu yang menyeretku ke dalam medan panggilan seperti para nabi tua itu. Tapi jangan-jangan yang mereka dengar dulu hanyalah suara batin yang sudah kelelahan. Dan kini, suara itu diwariskan turun-temurun sebagai mitos yang tak bisa dibantah. Sungguh, aku ingin mempercayai bahwa panggilan itu nyata. Tapi lebih sering aku mendapati bahwa yang nyata hanyalah keheningan yang tak menjawab. Maka aku tinggal di situ, di antara pohon pinus dan bebatuan yang diam. Mencoba menunggu sesuatu yang mungkin tidak pernah datang. Sementara para peziarah lain menunduk dalam doa yang khusyuk, aku justru mencatat kegelisahanku di balik kitab doa mereka. Aku tidak tahu apakah ini ketulusan atau sekadar bentuk pembangkangan yang sopan. Dan siapa tahu, mungkin aku tidak tuli. Mungkin aku sedang berbicara dalam bahasa yang tidak dikenal oleh Tuhan. Atau mungkin, panggilannya bukan suara—melainkan absennya suara itu sendiri. Ah, betapa liciknya sesuatu yang tidak bisa dibuktikan tapi terus dituntut untuk dipercaya. Di Gedono, panggilan tidak datang seperti panggilan telepon. Ia lebih seperti angin yang menyentuh tapi tak bisa ditangkap. Dan jika benar angin itu panggilan, maka aku harus mengakui: aku belum tahu cara membedakan angin dari ilusi.

Tuhan Menjadi Udara

Aku pernah berpikir Tuhan itu seperti tokoh penting dalam seminar—harus dijelaskan, dibela, dan akhirnya disepakati bahwa eksistensinya penting agar dunia tidak terlalu kacau. Tapi di Gedono, hal itu terasa konyol. Di sini, tak ada seminar, tak ada diskusi panel. Hanya ada udara. Dan anehnya, di situlah Tuhan bersembunyi: bukan dalam doktrin, tapi dalam sesuatu yang terhirup dan tak bisa ditolak. Aku tidak bisa berdialog dengan udara. Ia tidak memberi argumen. Tapi ia hadir. Dan lucunya, aku pun tidak bisa tidak mempercayainya. Mungkin karena kalau aku berhenti bernapas, ya selesai urusannya. Maka mungkin itulah cara Tuhan bekerja di tempat ini—diam, tak tertangkap logika, tapi memeluk paru-paruku lebih akrab dari siapa pun. Aku tidak bersujud. Aku tidak mengucap mantera. Aku hanya duduk dan menarik napas. Lalu tiba-tiba aku merasa dekat dengan sesuatu yang tak bisa kuketahui. Aneh sekali rasanya percaya kepada sesuatu yang tak terdefinisi, padahal aku ini pencinta definisi. Tapi Tuhan yang menjadi udara membuat semua definisi terasa seperti perabot yang berisik di rumah sunyi.

Di kota, aku selalu mencoba mendekati Tuhan dengan pikiran. Aku menulis skema. Aku membuat struktur argumen. Tapi di sini, Tuhan tidak datang karena aku mengundangnya. Ia ada karena ia tak bisa tidak ada. Dan dalam keheningan itu, aku justru merasa bukan sedang mencari Tuhan, melainkan sedang dikejar-kejar oleh kehadiran yang tak bisa kutolak. Lalu aku sadar, mungkin selama ini aku sibuk menata kursi untuk tamu yang sebenarnya sudah duduk di pangkuanku. Aku ingin Tuhan datang sebagai raja, rupanya ia datang sebagai embusan napas yang biasa. Dan lucunya, aku merasa lebih dicintai oleh embusan itu dibanding oleh banyak ayat yang selama ini kupelajari dengan tegang. Namun, ini membuatku malu. Karena selama ini aku memandang rendah pengalaman semacam ini. Terlalu tidak akademis, pikirku. Terlalu subjektif. Tapi di sini, Tuhan tidak peduli pada teori. Ia hanya ingin kau diam dan sadar bahwa paru-parumu tidak bekerja karena logikamu, melainkan karena cinta yang tak bisa dijelaskan. Lalu aku bertanya, bagaimana mungkin sesuatu yang tak bisa kupahami bisa begitu mengisi diriku? Dan aku tidak mendapat jawaban. Tapi udara tetap mengalir. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak keberatan hidup tanpa jawaban.

Pembelaan Akan Diriku

Aku pernah duduk lama, menatap langit yang tak berubah meski aku mencoba memikirkannya keras-keras. Lalu aku bertanya: apakah aku bahagia? Pertanyaan yang tampaknya sederhana, tapi bisa membuat seseorang kehilangan akal jika dijawab terlalu serius. Dan tentu saja, aku mencobanya dengan serius, seperti biasa. Aku mulai menyusun daftar kecil di kepalaku. Hal-hal yang membuatku tersenyum. Hal-hal yang kubenci. Hal-hal yang kutolak tapi diam-diam kunikmati. Lalu aku mengumpulkan argumen seperti tentara mengumpulkan senjata: untuk membela bahwa aku ini manusia yang punya alasan kuat untuk merasa cukup. Tapi semakin panjang daftar itu, semakin aku bingung. Kebahagiaan, ternyata, bukan sesuatu yang bisa dijustifikasi. Ia seperti burung kecil yang datang kalau mau, dan pergi begitu saja ketika aku mencoba menjinakkannya dengan alasan-alasan. Aku ingin percaya bahwa aku bahagia. Tapi seketika muncul suara—entah dari dalam atau dari luar, aku tidak tahu—yang bertanya: “Apakah kamu benar-benar bahagia, atau kamu hanya pintar membuat narasi bahwa kamu bahagia?” Dan seperti biasa, aku benci pertanyaan itu. Karena ia lebih tajam dari semua pembelaan yang kubangun. Ia menampar dengan tenang, tanpa emosi, tapi cukup untuk membuat seluruh pertahananku jatuh seperti bangunan kayu reyot. Kemudian muncul filsuf-filsuf di kepalaku. Mereka datang seperti tamu tak diundang di malam hari, membicarakan tentang absurditas, kehampaan, dan tawa getir eksistensial. Camus tersenyum sinis. Kierkegaard mengajakku loncat. Nietzsche melirik dengan jijik. Dan aku, aku cuma duduk di tengah mereka sambil berkata: “Tolong, setidaknya biarkan aku mengklaim bahwa aku berusaha bahagia.”

Tapi tidak. Mereka menolak. Mereka bilang kebahagiaan adalah dongeng moral yang diciptakan agar manusia tidak menjerit terlalu keras. Sebuah aspirin spiritual. Dan aku pun terdiam, menyeruput keheningan yang mulai pahit. Aku ingin membela diriku, sungguh. Aku ingin berkata bahwa aku bukan cuma kumpulan kecemasan yang tersusun rapi. Tapi semakin aku mencoba menjelaskan, semakin aku sadar bahwa diriku sendiri adalah teka-teki yang malas dijawab. Seolah-olah aku adalah pertanyaan yang diciptakan hanya untuk menjadi bahan diskusi, bukan untuk ditemukan jawabannya. Jadi, apakah aku bahagia? Mungkin. Mungkin tidak. Mungkin aku hanya ingin terlihat tenang karena aku tidak suka dikasihani. Atau karena aku memang sudah terlalu capek untuk mencoba bahagia dengan cara yang diajarkan buku-buku. Tapi jika pun aku harus menderita, biarlah itu penderitaan yang elegan—yang tak bisa dijelaskan tapi cukup membuatku merasa hidup. Dan di tengah semua kebingungan itu, aku hanya bisa tertawa kecil. Bukan karena aku menemukan jawabannya, tapi karena aku akhirnya lelah mencari. Dan kadang, lelah pun terasa seperti bentuk kebahagiaan yang diam-diam.

Menangis dalam Mazmur

Aku pernah menangis. Tapi tidak seperti di film-film atau doa yang dramatis. Tangisku diam, tanpa suara, seperti air rembesan dari dinding tua yang tak lagi punya kekuatan menyangkal kelembapannya sendiri. Aneh sekali rasanya menangis bukan karena sedih, tapi karena tidak tahu bagaimana lagi caranya mengucapkan isi kepala yang terlalu penuh. Orang-orang sering bertanya: “Kenapa kamu menangis?” Seolah-olah tangis harus punya alasan, seperti surat resmi dari institusi yang menjelaskan mengapa seseorang absen. Tapi bagaimana menjelaskan sesuatu yang bahkan tak sempat diberi nama? Air mataku keluar bukan karena satu sebab. Mungkin karena seribu sebab yang tak sempat diurus satu per satu. Aku teringat Mazmur. Di sana, Daud menangis. Tapi ia juga memaki, menghardik, bahkan tawar-menawar dengan Tuhan seperti pedagang rempah. Mazmur bukan lagu rohani; itu catatan dari seseorang yang terlalu jujur untuk disensor oleh liturgi. Maka ketika aku membaca Mazmur, aku merasa seperti sedang membaca lembaran hatiku sendiri yang tercecer. Tangisku bukan bentuk kelemahan. Tapi juga bukan kekuatan. Ia semacam reaksi tubuh yang tidak sempat didiskusikan oleh nalar. Seperti sendawa setelah kenyang atau tertawa kecil setelah menertawakan diri sendiri. Tapi air mata ini tidak bisa dipresentasikan. Ia tidak punya alur naratif. Tidak bisa dijadikan status. Dan mungkin karena itu, ia lebih murni dari semua teori kesedihan.

Kadang aku menangis karena sunyi terlalu pekat. Kadang karena kata-kata terlalu lelah. Tapi lebih sering, aku tidak tahu kenapa. Dan ketidaktahuan itu justru membuat tangis itu terasa lebih jujur. Mungkin ini caraku mengatakan kepada Tuhan, “Aku tidak baik-baik saja,” tanpa harus menjelaskan detailnya. Dan tentu saja, tidak ada yang paham. Orang-orang ingin solusi, ingin ringkasan, ingin tabel penyebab dan akibat. Tapi bagaimana menjelaskan kepada mereka bahwa ada duka yang tidak pernah selesai karena ia tidak pernah dimulai? Aku bahkan tidak tahu di mana letak lukanya. Tapi aku bisa merasakannya saat malam menutup dirinya rapat dan suara jangkrik menjadi satu-satunya hal yang bersedia mendengar. Maka aku diam. Tidak berharap dimengerti. Tidak menuntut simpati. Hanya berharap Tuhan membaca Mazmur yang kutangisi dalam diamku. Siapa tahu, Ia sedang duduk di pojok, mencatat air mataku seperti puisi. Dan siapa tahu, tangisan itu sendiri adalah bentuk paling jujur dari doa—doa yang tidak minta apa-apa kecuali dimengerti tanpa kata-kata.

Kesimpulan yang Sementara

Kalau hidup ini ujian, maka aku tidak yakin soalnya memang dimaksudkan untuk dijawab. Atau mungkin ini semacam teka-teki iseng dari semesta yang terlalu bosan, lalu menciptakan manusia dengan kecerdasan pas-pasan tapi ambisi untuk memahami segalanya. Lucunya, aku ikut-ikutan terjebak dalam permainan itu, mencoba menyimpulkan hidup dengan pena yang tintanya selalu habis di tengah kalimat. Maka inilah kesimpulanku—yang mungkin bukan kesimpulan: aku belum tahu apa-apa. Tapi aku tahu bahwa belum tahu itu sendiri cukup menyakitkan untuk membuatku sadar aku hidup. Tidak enak memang, tapi setidaknya jujur. Karena yang paling menyesatkan bukanlah ketidaktahuan, melainkan keyakinan palsu yang dibalut dogma manis dan dikemas dalam senyum pelayanan. Aku tidak sedang putus asa. Hanya sedang lelah menambal retakan-retakan kecil di dinding batin yang terus-menerus bertanya, "Apa ini semua sungguh-sungguh berarti?" Dan yang menyebalkan adalah: setiap kali aku ingin menyerah, ada semacam gumaman dari dalam dada yang berkata, "Tunggu sebentar lagi." Gumaman itu tidak datang dari Tuhan yang megah, tapi dari suatu keheningan yang terlalu malas menjelaskan dirinya.

Kadang aku berpikir, mungkin aku ini hanya karakter sampingan dalam cerita orang lain. Atau lebih parah: mungkin ini bukan cerita siapa-siapa. Hanya sekumpulan fragmen tak selesai yang terus dicatat tanpa ada rencana besar. Dan kalaupun ada naratornya, dia pasti pemabuk. Tapi dalam kekacauan ini, aku justru mulai nyaman. Bukan karena menemukan kedamaian, melainkan karena mulai terbiasa dengan absurditas. Seperti orang yang tinggal di rumah yang selalu bocor, sampai-sampai suara tetesannya menjadi lagu tidur. Aku bukan pahlawan. Aku bahkan bukan penafsir yang baik atas hidupku sendiri. Tapi aku tetap berjalan, seperti peziarah bodoh yang tidak tahu jalan, tapi terlalu gengsi untuk bertanya. Dan barangkali, satu-satunya kelebihan dari menjadi diriku adalah ini: aku masih bisa tertawa meski tak paham kenapa.

Jadi, kalau harus kututup semua refleksi ini dengan sebuah simpulan, maka inilah simpulan sementaraku: aku hidup. Dan hidup ini tidak harus masuk akal. Ia cukup hadir, cukup terasa. Kalau pun ada Tuhan di balik semua ini, semoga Ia tidak tersinggung dengan semua kebodohanku. Tapi jika Ia memang udara yang kuhirup, maka aku yakin Ia sudah lama tertawa duluan.

Komentar

Postingan Populer