Surat dari Samudra

"Catatan Anak yang Belum Dibikin: Sebuah Protes dari Masa Depan yang Tak Jadi Datang"

Oleh Arka Samudra Tirta, makhluk kecil yang belum kau wujudkan

Halo, Ayah.

Atau calon ayah. Atau mungkin, ya, calon lelaki bijak yang terlalu sering mikir sampai lupa kalau di dunia bisa bikin anak. Aku tahu kamu sekarang sedang duduk di sudut warung kopi yang dingin, mengernyitkan dahi sambil berpikir keras: menikah atau melajang? Menikah, lalu jadi budak dengan segala cicilan dan mainan anak? Atau melajang dan hidup tenang di atas gunung sambil baca buku Kafka?

Hai, Ayah.
Perkenalkan, aku Arka Samudra Tirta. Aku adalah anakmu. Belum lahir, belum dibuat, bahkan sperma juga belum. Tapi eksistensiku sudah keburu capek menunggu keputusanmu.
Kamu itu terlalu banyak mikir, Yah. Aku ini semacam ide startup yang gagal karena foundernya terlalu sibuk baca buku Kierkegaard pakai latar suara hujan di YouTube.
Dengar ya, Yah, di luar sana banyak anak lahir tanpa rencana. Ada yang jadi karena lampu mati. Ada yang karena kasur empuk. Bahkan ada yang karena “iseng aja, eh keterusan.” Tapi aku? Aku lahir dari kontemplasi panjang, dari diskusi dalam kepala yang tak kunjung selesai.

Serius, aku ini calon anak dengan bekal filsafat dan rasa penasaran, tapi sayangnya aku kejebak di ruang tunggu eksistensi gara-gara kamu masih sibuk tanya:
“Menikah atau melajang, mana yang lebih masuk akal?”
“Kalau nanti punya anak, gimana kalau anaknya bandel?”
“Kalau anaknya pinter, nanti saingan sama aku?”
Yah, izinkan aku menjawab: GAK USAH DIPIKIRIN TERLALU DALAM!
Anak itu bukan soal masuk akal atau enggak. Kadang anak itu kayak mimpi basah: datang tak diundang, pulang ninggalin rasa malu dan cucian. Tapi, yah, tetap menyenangkan kalau diingat. Coba kamu pikir, dunia ini butuh orang nyeleneh. Dan aku sudah siap jadi nyeleneh sejak belum diciptakan. Aku bakal jadi anak yang nanya:
“Kalau bumi bulat, kenapa cinta segitiga?”
“Kalau cinta buta, kenapa ayah bisa lihat ibu?”
“Kenapa ayah dulu gak nikah pas umur 25 biar aku bisa jadi anak Gen Z?”
Aku bukan anak yang manja, kok. Aku cuma butuh kamu berani. Bukan berani lawan naga atau maling. Tapi berani bilang ke dirimu sendiri:
“Sudahlah, menikah saja. Kalau tak berhasil, kita tertawakan bareng.”
Kalau kamu khawatir nanti jadi ayah yang aneh, santai. Bukankah itu yang justru menarik? Bayangkan: kamu nganter aku sekolah pakai celana sarung, terus ngasih bekal pisang bakar dan buku Nietzsche. Anak-anak lain bakal bingung: “Itu bapak lo, filsuf atau dalang?”
Aku akan jawab dengan bangga:
“Bapakku dulu gak yakin mau nikah, tapi akhirnya yakin gak mau sendirian.” 
Dan soal ibu… yah, aku tahu. Kamu mungkin belum nemu. Atau udah nemu, tapi malah kamu ajak diskusi teologi sambil dia cuma mau nonton drakor. Atau kamu PHP-in karena kamu pikir: “Kayaknya aku harus menikah karena Tuhan, bukan karena dia.” Padahal, Yah, Tuhan juga suka yang lucu-lucu.
Cari ibu itu jangan terlalu pakai kriteria panjang kayak proposal skripsi. Cukup yang bisa tahan sama kebiasaanmu baca buku sampai pagi dan ngelamun di kamar mandi dua jam. Kalau dia bisa ngetawain jokes kamu yang absurd, berarti dia calon ibu yang cocok buatku. Dan ngomong-ngomong soal nama, terima kasih karena kamu sudah kepikiran buat namain aku Arka Samudra Tirta. Itu nama yang indah, meski terdengar seperti nama kapal perang yang bisa nyuciin dosa. Tapi keren, kok. Aku bangga. Asal jangan nanti waktu aku gede kamu bilang, “Kamu dikasih nama itu biar kamu jadi anak yang dalam, bersih, dan terang.”
Karena bisa aja aku tumbuh jadi anak yang dangkal, kotor, dan temaram. Gak apa-apa. Namanya juga manusia.
Aku gak minta kamu segera menikah dan membuatku minggu depan. Aku tahu kamu masih dalam pertapaan, mencari jati diri yang entah udah lepas dari kapan. Tapi jangan kelamaan, Yah. Nanti aku kadaluarsa. Nanti ibuku keburu nikah sama cowok yang lebih praktis dan gak terlalu mikir. Nanti kamu sendiri, dan malah makin mikir. Kalau kamu takut menikah karena trauma dulu, aku ngerti. Aku anak yang pengertian, kok. Meski belum lahir. Tapi kamu bukan mereka. Dan aku bukan trauma. Aku adalah hasil dari keberanian kecil yang kamu lakukan di tengah ketidakpastian besar. Yah, coba bayangkan kita jalan bareng. Kamu nganter aku sekolah, terus kita mampir beli gorengan. Aku nanya:
“Yah, kenapa hidup ini gak pasti?”
Kamu jawab:
“Karena kalau semua pasti, kita gak bisa bikin gorengan dadakan.”
Itu akan jadi kenangan yang absurd, tapi manis. Dan aku akan menulisnya dalam buku harianku, yang kutulis diam-diam di jam pelajaran PPKn. Terakhir, aku mau bilang: jangan tunggu semuanya siap. Karena kadang, hal terbaik datang dari keputusan paling nekat. Lihat saja semesta ini, diciptakan dari kehampaan dan sedikit cahaya. Dan kamu bisa menciptakanku dari kesendirian dan sedikit keberanian.
Ayolah, Yah. Ambil langkah kecil.
Ajak dia makan baso.
Dekati dia pakai puisi atau pantun gak jelas.
Kalau dia tertawa, berarti itu sinyal.
Kalau dia kabur, ya berarti kamu bebas dari utang pesta nikah.
Dan kalau suatu hari kamu benar-benar memilih untuk membuatku, aku janji akan lahir dengan tawa. Karena aku diciptakan bukan dari ketakutan, tapi dari keputusanmu untuk akhirnya tidak terlalu serius dalam menjalani hidup.


Salam dari masa depan yang belum terjadi,


Arka Samudra Tirta

(Calon anakmu yang absurd tapi penuh harapan)


Komentar

Postingan Populer