Anak Miskin dan Buku Bajakan
Aku punya teman. Dia miskin. Tapi ingin pintar. Sialnya, Tuhan memberinya rasa ingin tahu, tapi tidak memberinya uang. Dan di dunia ini, ingin tahu itu mahal, Bung. Ia bertanya padaku, “Salahkah aku membeli buku bajakan?” Aku menatapnya. Dalam. Dalam sekali. Sedalam lubang resensi Goodreads. Lalu aku menjawab, “Tidak. Yang salah adalah dunia.” Ia tertawa. Aku juga. Tapi dalam tawa itu, ada getir yang menggantung seperti debu dalam perpustakaan yang dilupakan. Kau tahu, dunia ini sudah dikuasai pasar sejak bahkan sebelum manusia tahu cara mengeja "kapital." Kini pengetahuan bukan lagi soal pencerahan, tapi soal angka: ISBN, harga, dan siapa yang bisa beli dan siapa yang cuma bisa menggigit jari di toko buku ber-AC.
Sialan.
Ada anak-anak miskin yang rela naik angkot dengan perut kosong cuma untuk duduk di pojok perpustakaan, membaca buku sumbangan yang halamannya hilang di tengah. Ada yang menyalin buku dengan tangan karena tak punya cukup untuk fotokopi. Dan di luar sana, ada sekelompok orang berdasi dan berjudul doktor, yang mengatakan, “Membeli bajakan adalah mencuri. Kalian tak bermoral.” Aku ingin tertawa.
Siapa yang lebih bajingan: Seorang miskin yang membeli buku bajakan karena ingin membaca dan berpikir, atau Seorang kaya yang memamerkan rak buku hardcover di belakang Zoom meeting, tapi tak pernah membaca sepuluh halaman? Siapa yang harus kita hina: Mereka yang menyalin pdf buku filsafat karena tak sanggup beli versi cetaknya, atau Mereka yang membuat harga buku filsafat setara dengan setengah gaji buruh harian? Jangan bicara moral jika moralmu hanya berlaku saat kenyang. Buku-buku bajakan itu punya cerita. Mereka disalin dari pdf, dijilid jelek, dan tinta printer-nya luntur kena hujan. Tapi mereka punya sesuatu yang tak dimiliki oleh buku orisinal di rak-rak toko mewah: ketulusan. Iya, ketulusan. Sebab mereka dibeli dengan niat ingin tahu, bukan ingin pamer. Sebab mereka dibaca di warung kopi, bukan hanya difoto untuk Instagram. Sebab mereka menjawab rasa lapar pikiran, bukan membangun citra.
Tapi kalian, kalian yang memuja orisinalitas seperti menyembah berhala kertas, kalian lupa satu hal: bahwa tidak semua orang bisa membeli tiket masuk ke surga pengetahuan versi kalian. Seorang ibu guru honorer di kampungku pernah dituduh tak etis karena mengajar dengan bahan ajar dari buku bajakan. Padahal gajinya tak sampai dua ratus ribu. Tapi dia ingin murid-muridnya tahu tentang Chairil Anwar, bukan hanya nama-nama pahlawan di kalender. Dia fotokopi halaman demi halaman, tempelkan di dinding sekolah reyot, dan kalian bilang dia tidak bermoral? Moral macam apa yang menuntut kejujuran tapi mengabaikan keadilan? Ah, kalian yang menyebut diri "pecinta literasi", tapi menolak membagikan pdf karena takut “melanggar hak cipta”. Hak cipta dari siapa? Dari pemodal yang tak peduli siapa yang membaca asal royalti mengalir? Apa kalian lupa bahwa pengetahuan pernah beredar bebas, dari mulut ke mulut, dari naskah ke naskah, sebelum dicetak dalam sistem yang mengunci siapa boleh tahu dan siapa harus diam? Gutenberg mencetak Injil agar semua orang bisa membaca. Kalian mencetak buku agar kalian bisa menjual. Siapa yang benar-benar mencuri?
Aku percaya, bajakan adalah bentuk paling purba dari revolusi. Seperti nyanyian rakyat yang tidak diketahui penciptanya. Seperti puisi yang lahir di jalan, bukan di jurnal berbayar. Seperti cinta yang tak butuh lisensi. Buku bajakan bukan musuh literasi. Mereka adalah bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap sistem yang menjadikan ilmu sebagai komoditas dan ketidaktahuan sebagai harga jual politik. Kita butuh lebih banyak pembaca bajakan, daripada pemilik rak kayu jati yang kosong isinya. Kita butuh lebih banyak pdf gratis, daripada seminar literasi dengan biaya pendaftaran. Kita butuh lebih banyak orang miskin yang ingin tahu, daripada orang kaya yang sudah merasa tahu segalanya. Jangan kau sebut moral jika yang kau bela adalah dompet penerbit, bukan perut pembaca.
Jangan kau sebut etika jika yang kau lindungi adalah nilai pasar, bukan hak belajar. Jangan kau sebut cinta literasi jika kamu hanya cinta hak milik. Kau bukan pembaca. Kau kolektor ego.
Suatu hari nanti, di masa depan yang lebih adil, buku-buku akan turun dari rak-rak kaca, dan menyelinap ke tangan-tangan kecil yang lapar akan makna. Dan pada hari itu, tak akan ada lagi istilah bajakan hanya ada bacaan. Sampai hari itu datang, biarlah kami membaca yang kalian sebut palsu. Karena kadang, yang bajakan lebih jujur daripada yang asli.
Dan kalian, yang menghina kami karena memilih buku murah demi ilmu, tanyakan pada diri kalian sendiri: apakah kalian membaca karena ingin tahu? Atau hanya karena ingin terlihat tahu?
"Hak cipta? Kami hanya meminta hak untuk membaca. Kalau dunia tak memberi, maka kami mencuri. Dan kalian menyebut kami pencuri karena kami membaca tanpa membeli. Tapi kami menyebut kalian pengkhianat karena kalian membeli tanpa membaca"
such a nice thingš„
BalasHapusThanks
Hapus