Dua Perempuan yang Pergi




Dua Perempuan yang Pergi

Ada dua kepergian yang tak bisa saya pahami, dan mungkin memang tak perlu dipahami. Yang satu meninggal dunia. Yang satu tidak. Tapi saya tetap kehilangan keduanya. Yang pertama adalah omah saya—perempuan yang wajahnya memudar dari ingatan, tapi bau tubuhnya masih tertinggal di serat udara setiap kali malam terlalu sunyi untuk ditinggali. Ia pergi tanpa drama, tanpa perpisahan yang teatrikal. Tubuhnya terbaring seperti sunyi yang sudah terlalu akrab dengan bumi. Yang kedua adalah kamu. Kamu tidak mati, tapi kamu hilang. Kamu pergi bukan karena waktumu selesai, melainkan karena sesuatu—atau seseorang—menyeretmu menjauh. Saya tidak tahu pasti apa, maka saya menyebutnya monster.

Dua perempuan. Dua kepergian. Tapi luka yang sama. Kematian memiliki kebrutalannya sendiri. Tapi ia juga punya ketegasan. Omah saya mati, dan karena itu, saya tahu harus berhenti menunggu. Saya bisa menangis. Bisa menyalakan lilin. Bisa mengucap doa yang samar-samar seperti ingin mengatakan: “Terima kasih karena pernah menjadi rumah.” Tetapi kamu, kamu membuat saya terjebak di antara dua tanya: apakah kamu masih hidup di suatu tempat, atau sudah lenyap dalam bentuk yang lebih kejam daripada kematian—yakni dilupakan, atau lebih mengerikan: hidup sebagai seseorang yang bukan lagi kamu. Kematian itu adil, karena ia jelas. Tapi kamu dibawa oleh sesuatu yang kabur. Kamu tidak mati, tapi kamu juga tidak hidup di ruang yang bisa saya jamah. Kamu lenyap oleh cara-cara yang tidak bisa didefinisikan oleh filsafat, atau mungkin terlalu menyesakkan untuk dijelaskan oleh akal waras.

Monster yang membawamu bukan makhluk bertaring. Mungkin ia adalah situasi, trauma, pengkhianatan, tekanan, atau cinta yang disfungsional. Monster tidak selalu mengaum—kadang ia berbicara seperti penyelamat. Dan saya tak sempat melawannya, karena saya terlalu sibuk percaya bahwa kamu akan selalu ada. Seperti omah, yang saya pikir akan terus membuat teh panas sampai usianya mengering. Maka saya duduk di antara dua kehilangan. Yang satu mengajarkan saya tentang ketenangan. Yang satu melemparkan saya ke dalam labirin absurditas.

Saya ingat Sartre pernah berkata: “Kehilangan adalah harga dari eksistensi.” Tapi Sartre tak pernah memberi tahu bagaimana jika yang hilang bukan benda, bukan posisi, bukan kemewahan—melainkan dua perempuan yang, dengan cara mereka masing-masing, menjadi simbol tentang makna, rumah, dan arah. Maka eksistensi tidak hanya dihantui oleh absurditas, tapi juga oleh pengulangan duka yang tak punya nama pasti.

Omah saya pergi dengan tenang. Tapi justru karena itu, kepergiannya terasa seperti pelajaran dari Tuhan yang sudah terlalu lama diam. “Begini caranya hidup selesai,” katanya dalam bisu. Sementara kamu pergi dengan kegaduhan yang tidak pernah selesai. Ada gemuruh, ada ingatan yang patah-patah, ada kemungkinan yang terus membuat saya menggigit ujung jemari. Kamu masih hidup, barangkali. Tapi kamu tidak bisa kembali. Bukan karena saya menutup pintu, tapi karena kamu sudah lupa arah pulang.

Saya sering membayangkan apa yang lebih menyakitkan: melihat seseorang mati di hadapanmu, atau melihat seseorang yang kamu cintai berubah menjadi orang lain dan menatapmu seperti kamu tak pernah ada. Yang satu mengiris perlahan dengan sunyi. Yang lain menusuk tiba-tiba dengan pengingkaran. Dan saya memilih untuk tidak memilih. Karena ternyata, kehilangan tidak punya skala. Ia hanya punya bentuk—dan kedua bentuk itu telah menginjak saya sampai kempes. Saya bukan korban. Saya hanya saksi. Tapi saksi juga bisa mati pelan-pelan.

Omah saya tidak pernah membohongi saya. Bahkan ketika ia mulai lupa nama saya, ia tidak pura-pura mengenal saya. Ia menatap saya dengan jujur: “Maaf, siapa kamu?” Dan saya tahu, itu adalah bentuk paling tulus dari ingatan yang menyerah. Tapi kamu… kamu tersenyum, lalu pergi. Kamu menepuk pundak saya, mengatakan hal-hal yang manis, tapi palsu. Kamu membawa pergi sebagian besar dari saya tanpa memberi tanda terima. Dan monster itu membawamu entah ke mana, tapi kamu tidak berteriak. Mungkin karena kamu rela. Atau karena kamu juga takut. Nietzsche berkata bahwa yang paling menyakitkan bukan penderitaan, melainkan ketika penderitaan kehilangan maknanya. Saya menderita bukan karena kamu pergi, tapi karena saya tidak tahu mengapa kamu harus pergi seperti itu. Omah pergi karena tubuhnya lelah. Tapi kamu? Kamu pergi sambil berdiri, sambil bicara, sambil tersenyum, dan saya—di ujung perpisahan itu—tidak mengerti apakah kamu sedang bahagia atau sedang disandera oleh keputusasaan yang terlalu dalam untuk dijelaskan.

Maka saya hidup dengan dua jenis kematian. Yang satu bisa didoakan. Yang lain terlalu hidup untuk dimakamkan. Saya menyalakan lilin untuk omah, tapi saya tidak tahu harus menyalakan apa untukmu. Kamu tidak mati, tapi kamu juga tidak bisa dihubungi. Kamu menjadi kemungkinan yang menggantung, seperti pertanyaan yang tidak pernah dijawab oleh Tuhan. Akhirnya saya belajar: kadang, yang mati bukan hanya orang—tapi harapan. Dan harapan yang mati tidak bisa dikuburkan. Ia membusuk perlahan di dalam kepala, menimbulkan bau yang hanya bisa dicium oleh hati yang pernah benar-benar percaya.

Dua perempuan telah pergi. Satu dengan tenang. Satu dengan kebisingan yang tidak pernah bisa saya pahami. Tapi saya tetap mencintai keduanya. Karena mencintai, ternyata, bukan tentang yang tinggal. Tapi tentang siapa yang pernah membuat kita merasa, bahwa untuk sementara waktu, kita tak sendirian di dunia yang terlalu asing ini.


Amabo vos omnes donec moriar et amplius amare non possim.

Last Amor🤍

Komentar

Postingan Populer