Ketika Buta Justru Melihat !
Ada yang selalu luput dari perhatian kita yang melek: bahwa cahaya pun bisa membutakan. Di dunia yang memuja terang, visual adalah raja. Tuhan pun, jika boleh jujur, telah dikonstruksi sebagai sosok bercahaya: megah, tinggi, bercahaya putih menyilaukan, duduk di atas takhta awan. Iman pun direduksi menjadi serangkaian penglihatan dan impresi—tentang altar, ikon, langit terbuka, dan cahaya surgawi. Tapi bagaimana jika seseorang tidak pernah mengenal cahaya sejak lahir? Apakah itu berarti Tuhan tidak hadir baginya? Atau justru: dialah yang selama ini mengenal Tuhan lebih murni daripada kita yang silau oleh cahaya buatan?
Seorang buta tidak melihat Tuhan. Ia tidak tahu seperti apa rupa salib, atau bentuk gereja, atau wajah Yesus seperti dalam lukisan-lukisan renaissance yang kita agung-agungkan. Ia bahkan tidak tahu arti warna putih sebagai simbol kesucian. Tapi mungkin justru karena itu ia tidak perlu tahu. Karena Tuhan, jika benar adalah Tuhan, tidak bisa ditangkap oleh retina. Tuhan adalah pengalaman, bukan objek visual. Disinilah kekritisan kita diuji. Kita menyebut Tuhan “terang dunia”, tapi terang seperti apa? Apakah cahaya sebagai metafora pencerahan, atau cahaya sebagai instrumen kekuasaan? Cahaya yang mana yang kita ikuti: terang yang membebaskan, atau justru terang yang membuat kita tak mampu melihat sisi gelap dari realitas manusia?
Seorang buta tidak memiliki kemewahan visual itu. Dan karena itu, ia tidak hidup dalam jebakan simbol-simbol visual. Ia tidak tertarik pada keindahan gereja, tata busana ibadah, atau desain salib. Tapi ia tahu ketika tangan Tuhan hadir lewat bantuan seseorang yang menggandengnya menyebrang. Ia tidak paham sistematika teologi, tapi ia tahu ketika suara lembut dalam sunyi menguatkannya di tengah malam. Ia tidak mengenali bentuk ibadah, tapi ia tahu cara menangis dalam doa. Kita seringkali memaksakan Tuhan untuk hadir seperti yang kita bisa lihat. Tapi sang buta tidak menuntut itu. Ia hanya meraba, dan dalam rabanya ia percaya. Dalam ketidaktahuannya, ia percaya. Dalam keterbatasan indra, ia mengenali. Mungkin iman tidak membutuhkan kejelasan, tapi keberanian untuk tetap menyentuh sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Dan jika begitu, maka orang buta bukanlah orang yang kekurangan iman. Justru ia yang menjalani iman itu secara utuh.
Dalam gelap, Tuhan tidak menghilang. Tuhan tidak redup. Tuhan tidak terlambat. Dalam gelap, kita hanya berhenti bergantung pada penglihatan dan mulai membuka telinga, kulit, dan hati. Dalam gelap, kita tidak sibuk menghakimi rupa atau menyusun doktrin. Kita hanya ada—dengan Tuhan. Filsafat modern sering memuja rasionalitas visual: melihat adalah memahami. Tetapi justru dalam tradisi fenomenologi, kita diajak berpikir ulang: bahwa tubuh adalah medium pengenalan yang paling jujur. Dan sang buta, dengan tubuhnya yang peka terhadap suara, sentuhan, suhu, arah, dan irama langkah, justru memiliki akses pada realitas yang tidak disaring oleh mata yang sering salah tafsir. Ia tidak melihat Tuhan, tapi ia tahu ketika langkahnya dituntun. Ia tidak melihat Kitab Suci, tapi ia tahu isi hati yang mengalir saat mendengarkan Mazmur. Ia tidak tahu arsitektur sakral, tapi ia tahu ruang hening yang menjadi altar jiwanya. Ia tidak melihat, tapi ia mengenal. Dan bukankah itu jauh lebih radikal daripada kita yang melihat segalanya tapi tidak mengenal apa-apa?
Di sisi lain, sang buta juga membongkar teologi kekuasaan. Ia tidak punya kekuatan untuk tampil impresif. Tapi justru karena itu, ia tidak menjadikan iman sebagai prestasi. Iman bukan tentang pencapaian, tapi penerimaan. Ia tidak menyembah karena mampu, tapi karena tahu bahwa tanpa Tuhan, ia rapuh. Ia tidak meminta Tuhan untuk dilihat, tapi untuk dirasa. Ia tidak menuntut bukti, karena ia sudah mengalami yang tak terbukti. Dan kita yang terlalu terobsesi pada sistem, sering lupa bahwa iman bukan bangunan, tapi getaran. Bukan rumus, tapi hubungan. Bukan terang, tapi pelukan dalam gelap. Kita menuntut Tuhan tampil sebagai cahaya, padahal Tuhan mungkin sedang mengajarkan kita mencintai dalam buta. Mencintai tanpa bentuk. Menyembah tanpa gambar. Percaya tanpa jaminan.
Mungkin itulah kenapa Yesus lebih memilih menyembuhkan orang buta bukan untuk membuatnya jadi "melihat" seperti kita, tapi agar dunia tahu bahwa yang tak melihat pun bisa percaya. Bukankah kepada Tomas Yesus berkata, "Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya"? Seorang buta menjadi kritik atas iman yang dibangun di atas visualitas. Ia berkata tanpa suara: aku tidak melihat, tapi aku tahu. Aku tidak tahu warna, tapi aku mengenal kasih. Aku tidak paham bentuk Tuhan, tapi aku tahu kehadiran-Nya. Dan mungkin, dalam kebutaan itulah terang sejati lahir. Terang yang tidak memaksa bentuk, tidak menyilaukan, tidak mengintimidasi. Terang yang tidak di mata, tapi di hati. Di kesadaran bahwa Tuhan hadir bukan karena kita mampu melihat-Nya, tapi karena kita membuka ruang bagi-Nya di dalam gelap yang kita tinggali.
Di dunia yang terlalu banyak melihat, mungkin kita perlu belajar buta. Agar bisa mengenali Tuhan bukan dengan mata, tapi dengan keberanian untuk percaya tanpa harus melihat. Dan ketika itu terjadi, kita baru bisa berkata: dalam gelap aku mengenal cahaya—bukan cahaya yang terlihat, tapi yang menyentuhku dari dalam, dan tak pernah meninggalkan aku sendirian.
“Ia tak pernah melihat Tuhan, dan karena itu ia tak pernah memenjarakan-Nya dalam bentuk.”
Komentar
Posting Komentar