resilien, katamu

 



Aku pikir aku sudah cukup gila untuk mencintai dunia dengan cara membencinya. Aku pikir cara terbaik memahami hidup adalah dengan merobeknya: lapis demi lapis, sistem demi sistem, sampai hanya tersisa ketelanjangan eksistensi yang memalukan. Aku pikir satu-satunya bentuk kesetiaan pada kehidupan adalah dengan terus-menerus menggugatnya. Tapi lalu kau menjawab satu kata: resilien—dan semuanya kacau. Aku tidak menduga. Aku harap kau akan menjawab dengan kata-kata yang bisa kubantah. Seperti “kuat”, “tegar”, atau bahkan “berani”. Itu mudah. Kata-kata itu punya harga pasar. Bisa dikritik, bisa dijual, bisa ditertawakan. Tapi kau bilang “resilien” dengan cara yang terlalu jujur. Dan aku, si skeptis yang suka membongkar, tiba-tiba tidak menemukan apa-apa untuk dikutuk.

Resilien—apa itu? Sebuah sikap absurd yang memilih bertahan, padahal semua alasan untuk menyerah terbentang? Sebuah filsafat hidup yang terlalu waras untuk dunia yang terlalu sakit? Aku tahu filsuf yang suka bicara soal itu. Namanya Epiktetos. Budak yang jadi guru. Ia bilang: “Bukan kejadian yang menyakiti kita, tapi penilaian kita atas kejadian itu.” Aku dulu suka mengutip itu di kelas-kelas diskusi kiri, untuk mengejek stoisisme. Kukira itu apologi atas pasrah. Tapi malam ini, kutipan itu seperti wajahmu: sederhana, tenang, tapi menyisakan tanya yang menusuk. Kau bukan pengkhotbah. Kau bukan filsuf. Tapi kau mengucapkan satu kata yang membuat semua tesis radikalku terasa lelah. Bagaimana bisa seseorang yang terus dihantam kenyataan tetap memilih memelihara cahaya kecil, bukan karena bodoh, tapi karena tahu bahwa cahaya itu satu-satunya hal yang bukan milik sistem?

Aku yang biasanya mencintai dunia dengan menggugat, malam ini mencintai dunia dalam kebingungan. Bukan karena kau menjawab apa yang ingin kudengar, tapi karena kau menampar dengan ketenangan. Di saat aku berhasrat membakar dunia, kau memungut serpihannya, menyimpannya, dan menuliskan puisi dari debu dan luka.

Apa itu bentuk cinta yang lebih tinggi? Atau pengkhianatan terhadap revolusi? Dimana letak keberpihakan dalam resilien? Bukankah bertahan tanpa melawan adalah bagian dari skema besar sistem yang ingin membuat kita mati pelan-pelan? Tapi kau tak menyerah. Bukan karena sistem, tapi meskipun sistem. Kau tidak diam karena patuh, tapi karena memilih tidak membiarkan kebencian merusak hatimu. Kau bukan aktivis jalanan, tapi langkahmu seperti menyimpan manifesto. Bukan dengan teriakan, tapi dengan keputusan-keputusan kecil: belajar, bertahan, menangis sebentar lalu melanjutkan hidup. Kau tidak memakai bendera, tapi setiap gerakmu seolah mengatakan: “Aku tidak tunduk.” Dan itu—menyebalkan. Karena aku, yang setiap hari berpidato tentang ketidakadilan, masih belum bisa melakukan itu.

Aku tidak tahu bagaimana caranya melihat sisi baik dari dunia yang menyembah uang, memuja pertumbuhan sambil menginjak tubuh yang lelah. Aku tidak tahu bagaimana kau bisa menatap wajah dunia yang sinis dan tetap percaya bahwa besok masih bisa dipeluk. Aku tidak tahu bagaimana kau bisa menangis, dan bukannya menjadi apatis, justru menjadi lebih dalam.

Kalau saja aku sepertimu.

Tapi aku terlalu politis, terlalu liar, terlalu gelisah. Cinta bagiku adalah bentuk lain dari revolusi. Dan orang sepertimu membuatku bertanya: apakah revolusi harus selalu berapi-api? Ataukah kadang, bentuk perlawanan tertinggi justru adalah ketika seseorang bisa tetap lembut? Malam ini, kau membuat marxis di dalam kepalaku frustrasi. Karena semua teori tentang kelas dan perjuangan tiba-tiba lumpuh di hadapan air matamu yang tidak meledak, tapi juga tidak pernah hilang. Karena cara kau menghadapinya terlalu halus untuk ditolak, terlalu jujur untuk ditertawakan.

Resilien, katamu.

Kata itu seperti sebuah puisi tanpa rima. Seperti keteguhan yang menolak dijadikan simbol. Seperti cinta yang tidak meminta apa pun, tapi membentuk ulang ruang di sekelilingnya. Dan aku, di titik ini, hanya bisa bertanya: Siapa yang lebih radikal—aku yang ingin membongkar segalanya, atau kau yang diam-diam terus hidup tanpa membenci? Siapa yang lebih berani—aku yang melawan terang-terangan, atau kau yang berdamai tanpa menyerah? Dan terakhir, yang paling jahat dari semua pertanyaan: apakah mungkin aku mencintaimu justru karena aku tidak bisa menjadi seperti itu?

Aku tidak tahu. Aku hanya tahu malam ini, kata resilien membuatku kehilangan arah. Bukan karena aku kehilangan logika. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa marah pada kekuatanku sendiri—karena ternyata ada jenis kekuatan lain, yang tidak bisa kumiliki. Dan ia ada padamu. Diam-diam. Tenang. Tapi mengguncang seperti revolusi yang lahir bukan dari suara, melainkan dari keberanian terus mencintai hidup, bahkan ketika hidup terus melukai. 

Resilien, katamu. Dan untuk sesaat... aku percaya.


Aku sibuk menggugat langit, sementara kau menanam bunga dari hujan yang sama. Dan mungkin, kau sudah jauh lebih radikal.



Komentar

Postingan Populer